Penulis
Tak hanya membangkang terhadap Sultan Pajang, Panembahan Senopati pada akhirnya juga menyerang keraton Pajang hingga akhirnya menjadi bawahan Mataram.
---
Intisari-Online.com -Tak bisa dipungkiri, lahirnya Mataram Islam tak lepas dari pembangkangan Panembahan Senopati terhadap penguasa Pajang.
Penguasa Pajang saat itu, Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, sejatinya bukan orang asing bagi Senopati.
Dia adalah ayah angkat raja pertama Mataram Islam itu.
Pembangkangan Senopati terhadap Sultan Pajang terjadi tak hanya sekali, tapi beberapa kali.Paling tidak begitu gambaran H.J De Graaf dalam bukunya, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senopati.
Saat Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia, Jaka Tingkir langsung menunjuk Panembahan Senopati sebagai pemimpin baru Mataram.
Di tahun pertamanya, dia mendapat keringanan dari Pajang untuk tidak usah datang ke istana Pajang.Tujuannya supaya dia bisa menggunakan waktunya untuk menertibkan daerahnya dan untuk bersenang-senang saja.
Tapi ternyata kelonggaran itu dimanfaatkan oleh Senopati yang semakin hari semakin mendapatkan banyak pengikut.
Pertama, dia memerintahkan rakyat Mataram untuk membuat batu bata guna mendirikan tembok benteng.
Tahun berikutnya dia juga tidak menghadap ke Pajang.Ki Juru Martani yang terus menasihatinya dan memperingatkannya hanya ditanggapi sambil lalu.
Sultan Pajang pun mendengar pembangkangan Panembahan Senopati.
Dia kemudian menyuruh dua orang sahabatnya dari kecil, Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta, untuk menemui Senopati.
Tapi Senopati merasa tak berkewajiban menemui dua tamunya itu di rumah.
Dia menemui utusan Pajang itu saat liburan di Lipura, sebelah selatan pusat Mataram.Setidaknya ada tiga pesan dari Pajang yang dibawa dua orang itu kepada Panembahan Senopati:
Pertama, Senopati tidak boleh begitu sering mengadakan perjamuan.
Kedua, Senopati harus mencukur rambutnya.
Ketiga, Senopati harus segera melaporkan diri ke Pajang.
Lalu apa reaksi Senopati?
Baginya, makan dan minum tidak mungkin dia tinggalkan.Lalu soal rambut di kepala tidak perlu dicukur, karena akan tumbuh lagi.
Ketiga soal lapor ke Pajang, ia baru akan menghadap ke Pajang jika Sultan tidak lagi mengawini dua wanita kakak-beradik, dan tidak lagi merebut istri dan anak perempuan para bawahannya.
Mendapat jawaban seperti itu, dua utusan itu seolah tidak bisa berkata apa-apa.
Mereka bahkan tidak berani menyampaikannya kepada Sultan Pajang dan mengarang jawaban yang lain.
"Segala perintah akan dilaksanakan," kata keduanya mengarang cerita.
"Putra Sri Baginda tak lama lagi akan menyusul."
Begitulah pembangkangan yang dilakukan oleh Panembahan Senopati saat Mataram Islam masih menjadi vasal Pajang.
Dan kita tahu, Mataram Islam akhirnya berhasil mengalahkan Pajang dalam sebuah pertempuran yang terjadi Prambanan.
Tak hanya membangkang, tapi merebut keraton
Singkat cerita, terjadilah perang antara Mataram dan Pajang. Ada beberapa pemicunya.
Dikisahkan oleh Babad Tanah Djawi, sebagaimana dikutip dari buku HJ De Graaf berjudul Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati, di Pajang, tinggal ipar Senopati bernama Tumenggung Mayang.
Dia punya putra, namanya Raden Pabelan yang terkenal tampan dan rupawan. Kerjanya merayu dan menggoda wanita.
Setiap disuruh kawin oleh ayahnya, dia tidak mau. Karena putus asa, Mayang kemudian punya cara: menjebaknya supaya mencuri hati Ratu Sekar Kedaton.
Ratu Sekar Kedaton tinggal di istana dengan pengawalan yang sangat ketat. Suatu ketika, atas nasihat ayahnya, Raden Pabelan ingin mengirimkan bunga cempaka kepada sang putri.
Bunga ini disebut bisa memabukkan setiap wanita. Melalui abdinya, Soka, yang sedang berbelanja di pasar, Raden Pabelan mengirimkan sebungkus bunga wangi kering kepada sang putri.
Disertai juga sepucuk surat cinta. Ternyata gayung bersambut, Raden Pabelan mendapat sambutan. Dia diundang datang ke istana saat malam hari.
"Raden, Raden ditunggu oleh sang putri malam ini, beliau akan mempersiapkan makan dan pakaian," begitu kata Soka, dikutip dari buku tersebut di atas.
Sekali lagi, Raden Pabelan minta bantuan ayahnya agar bisa masuk ke istana tanpa sepengetahuan penjaga.
Sesampainya di luar pagar tembok keraton, Tumenggung Mayang mengucap mantra sembari mengusap pagar tembok keraton itu.Sekonyong-konyong, pagar itu merendah sebentar, untuk memberi kesempatan kepada Raden Pabelan, lalu meninggi lagi.
Sialnya, saat hendak pulang, Pabelan gagal merendahkan tembok itu, ayahnya rupanya memberi mantra yang salah.
"Pabelan lalu memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya, dan bercumbu rayu dengan putri itu selama tujuh hari tujuh malam," tulis De Graaf.
Kejadian itu akhirnya diketahui oleh salah seorang pelayan yang langsung melaporkannya kepada Sultan Pajang.
Tanpa pikir panjang, Sultan langsung memerintahkan dua panglima tamtama, Wirakerti dan Suratanu, menangkap Pabelan.
Dua panglima itu membawa serta 22 prajurit. Wirakerti yang cerdik berhasil memancing Pabelan. Begitu Pabelan keluar, dia langsung menusuk keponakan Senopati itu hingga tewas.
Jenazah Pabelan lalu dilemparkan ke Sungai Laweyan. Tumenggung Mayang juga kena getahnya, dia dibuang ke Semarang dengan dikawal 80 mantri Pajang dan seribu orang.
Tak lama berselang, istri Mayang, langsung mengirim utusan kepada Senopati, memberitahukan soal kabar dibuangnya Tumenggung Mayang.
Senopati tentu sangat marah. Dia lalu menyeru kepada mantri-mantrinya untuk menyelamatkan adik iparnya, bagaimanapun caranya.
Mantri-mantri loyalis Senopati itu berhasil menghadang rombongan dari Pajang di sekitar Jatijajar, dekat Ungaran, dan langsung menyerang rombongan itu.
Rombongan Pajang banyak yang terbunuh, ada yang terluka dan melarikan diri. Tumenggung Mayang sendiri berhasil dibebaskan dan dibawa ke Mataram.
Mereka yang melarikan diri berhasil sampai ke Pajang dan langsung melaporkan apa yang sudah terjadi. Sultan Pajang pun sadar, "Senapati in Alaga benar-benar memberontak, karena ia sudah memulai perlawanan."
Singkat cerita, terjadilah pertempuran antara Mataram dan Pajang, salah satu yang paling dahsyat adalah pertempuran di Prambanan. Dalam pertempuran tersebut, menurut catatan De Graaf, pasukan Pajang kocar-kacir menghadapi serangan pasukan Mataram.
Sultan Pajang bahkan sempat terdesak dan akhirnya melarikan diri ke Tembayat atau Bayat yang keramat.
Dalam keadaan sakit, Sultan Pajang akhirnya memutuskan pulang ke keraton Pajang, sementara pasukan Senopati terus menguntitnya dari belakang. Pangeran Benawa sempat ingin menyerang pasukan itu tapi dicegah oleh Sultan Pajang.
Dia bahkan berpesan supaya anaknya itu selalu bersahabat dengan Senopati.
Akhirnya, Sultan Pajang wafat dan Pajang pun akhirnya menjadi bawahan Mataram dengan rajanya Panembahan Senopati.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News