Find Us On Social Media :

Begini Kronologi Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Tumbal Penerapan Asas Tunggal Pancasila Di Masa Orde Baru

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 15 April 2024 | 18:17 WIB

Beginilah sejarah dan kronologi Peristiwa Talangsari Lampung 1989 yang menjadi salah satu noda hitam penegakan HAM di Indonesia.

Intisari-Online.com - Ada beberapa kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat.

Salah satunya adalah peristiwa berdarah yang terjadi di Dusun Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur, pada 7 Februari 1989.

Beginilah sejarah dan kronologi Peristiwa Talangsari Lampung 1989 yang menjadi salah satu noda hitam penegakan HAM di Indonesia.

Mengutip Kompas.com, Peristiwa Talangsari merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadie pada 7 Februari 1989 di Lampung Timur.

Persianya di Dusun Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur.

Peristiwa ini menjadi imbas dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru, yang termanifestasi dalam UU No. 3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya.

Menurut tim pemantauan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari telah menelan 130 korban tewas terbunuh, 77 orang dipindah secara paksa, 53 orang haknya dirampas, dan 46 lainnya disiksa.

Kronologi Peristiwa Talangsari

Latar belakang terjadinya peristiwa Talangsari diawali dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang asas tunggal Pancasila.

Adapun prinsip yang diterapkan Soeharto ini disebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan pedoman program bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).

Umumnya, program P-4 ini menyasar sejumlah kelompok Islamis yang kala itu bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru.

Akibatnya, aturan ini membuat sekelompok orang di Lampung melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Warsidi.

Mulanya, anggota dari Warsidi hanya berjumlah di bawah 10 orang.

Tapi seiring waktu, anggotanya terus bertambah.

Hingga kemudian pada 1 Februari 1989, Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat untuk Komandan Koramil Way Jepara, Kapten Soetiman.

Dia menyampaikan bahwa di dukuhnya ada sejumlah orang yang diduga melakukan kegiatan yang mencurigakan.

Sekelompok orang yang dimaksud oleh si kepala dukuh adalah Warsidi dan komplotannya yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, di Lampung Tengah.

Karena itulah pada 6 Februari 1989, melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Kapten Soetiman, Warsidi dan para pengikutnya dimintai keterangan.

Ketika itu rombongan yang berangkat diperkirakan berjumlah 20 orang, yang dipimpin oleh Kepala Staf Kodim Lampung Tengah May Sinaga, termasuk Kapten Soetiman.

Sesaat setelah Kapten Soetiman sampai, ia langsung ditembaki menggunakan panah dan perlawanan golok.

Tewasnya Kapten Soetiman pun membuat Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono bertindak melawan Warsidi.

Pada 7 Februari 1989, sebanyak tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihideung, pusat gerakan.

Menjelang subuh, keadaan di Cihideung sudah berhasil dikuasai oleh ABRI.

Dalam bentrokan ini, sedikitnya 246 penduduk sipil tewas.

Sementara itu, menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan ada 47 korban tewas dan 88 lainnya hilang.

Alhasil, ratusan anak buah dan pengikut Warsidi berhasil ditangkap.

Menurut UU No. 26 Tahun 2008 Pasal 9 tentang Pengadilan HAM, kejadian itu merupakan penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah dari atasan militer maupun non-militer

Pada 2001, korban dari Peristiwa Talangsari mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM).

Lalu pada 23 Februari 2001, tim penyelidik pun dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999.

Tim ini terdiri dari:

- Enny Suprapto (Kekerasan)

- Samsudin (Hak Hidup)

- Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan)

- Muhammad Farid (Anak-anak)

Tim ini mulai bekerja sejak akhir Maret hingga awal April 2005.

Setelah mereka turun ke lapangan pada Juni 2005, didapati adanya pelanggaran HAM berat.

Komnas HAM kemudian mengeluarkan laporan penyelidikan dan berkasnya diserahkan ke Kejaksaan Agung.

Tapi malangnya laporan tersebut ditolak karena dianggap kurang ada bukti formil dan materiil.

Pada 20 Februari 2019, barulah deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terjadi.

Deklarasi ini dilaksanakan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, yang dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu.

Adapun isi dari deklarasi damai itu adalah agar koran Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena sudah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.

Mengetahui hal itu, korban dan masyarakat pun langsung melakukan penolakan, karena kompensasi yang diberikan bukan kompensasi khusus untuk para korban Peristiwa Talangsari.

Akhirnya, korban yang ada dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung didampingi oleh Kontras dan Amnesti Internasional Indonesia melaporkan perihal deklarasi itu pada Ombudsman RI.

Pada 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi.

Dengan demikian, para korban Talangsari masih harus memperjuangkan hak mereka.

Begitulah sejarah dan kronologi Peristiwa Talangsari Lampung 1989 yang menjadi salah satu noda hitam penegakan HAM di Indonesia.