Penulis
Intisari-Online.com -Jika bukan karena anggota Masyumi dan buruh-buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), barangkali THR tak pernah ada hingga sekarang.
Benar, kita sedang berbicara tentang THR alias Tunjangan Hari Raya.
Apa hubungannya dengan Masyumi dan PKI--dua pertai besar yang mewarnai sejarah Indonesia di masa Demokrasi Liberal?
Begini ceritanya:
Mengutip Kompas.com, THR biasanya diberikan kepada pekerja seperti pegawai negeri sipil (PNS), pekerja swasta dan lainnya, yang diterima menjelang lebaran Idul Fitri.
Umumnya, THR adalah dibayarkan dalam bentuk uang yang disesuaikan dengan agama yang dianut pekerja.
Meski beberapa perusahaan memberikan THR kepada pekerjanya dalam bentuk kebutuhan pokok.
Bagi yang sudah bekerja setahun penuh atau lebih, besaran THR adalah dibayarkan senilai satu kali gaji.
Sementara untuk mereka yang bekerja kurang dari setahun, pembayaran THR adalah disesuaikan dengan perhitungan secara proporsional.
Menurut Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, THR adalah wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Mengutip Kompas.com, sebelum bersifat wajib seperti sekarang, pada awalnya THR adalah pemberian sukarela bagi pekerja.
Sosok yang pertama kali memperkenalkan konsep THR adalah Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia ke-6.
Kita tahu, Mr Soekiman adalah politikus dari Partai Masyumi.
Ketika itu,kebijakan THR adalah bagian dari beberapa program kesejahteraan bagi pamong praja (sekarang PNS).
Tujuannya, agar pamong praja mendukung kebijakan dan program-program pemerintah.
Pada awalnya, THR PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka, di mana nantinya harus dikembalikan lewat pemotongan gaji.
THR diberikan pemerintah kepada PNS sebesar Rp 125 hingga Rp 200 dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Selain uang THR, PNS kala itu itu juga diberikan paket berupa sembako, kebiasaan yang belakangan rupanya banyak ditiru dan jadi tradisi perusahaan-perusahaan di Indonesia jelang Lebaran hingga saat ini.
Aturan mengenai pemberian THR PNS pada saat itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Sesuai aturan pemerintah saat itu, THR hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta. Kebijakan tersebut rupanya ditentang keras oleh kaum buruh, terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Para penentang berargumen, THR yang hanya diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil.
Padahal, mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Buruh minta semua pekerja dapat THR
Organisasi buruh terbesar di masa itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) berada di front terdepan dalam perjuangan buruh.
Pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan protes dengan mogok kerja dan menuntut pemerintah memberikan uang THR bagi para buruh.
Ketika itu awalnya pemerintah masih mengabaikan suara buruh.
Akan tetapi, SOBSI terus berjuang meminta buruh mendapat THR sebesar satu bulan gaji.
Kemudian, kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri kedelapan Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Sementara itu, buruh gencar menuntut pemerintah.
Untuk mengakomodasi buruh, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954.
Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentan waktu satu tahun.
Jumlah paling sekurang-kurangnya adalah Rp50 dan paling besar Rp300.
Tapi surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan.
Artinya, banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 atau saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Aturan THR resmi pada 1994
Aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas baru diterbitkan pemerintah pada tahun 1994 yakni lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Lewat peraturan ini, pemerintah mewajibkan semua perusahaan untuk memberi THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan kerja.
Kebijakan itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal kebijakan THR hingga saat ini.
Pegawai kontrak juga dapat THR
Tahun 2016 pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR.
Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016.
Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.
Tak hanya itu, kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukkan karyawan tetap, tetapi juga untuk pegawai kontrak.
Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Lebih lanjut, besaran THR yang diterima pekerja akan ditentukan berdasarkan masa kerja yang telah mereka lalui di sebuah perusahaan atau institusi.
Bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 12 bulan atau lebih secara berturut-turut maka akan memperoleh THR sebesar upah atau gaji satu bulan yang terakhir diterima.
Sementara itu, mereka yang memiliki masa kerja di bawah itu akan menerima THR yang besarannya bersifat proporsional.
Jika terlambat menunaikan kewajiban tersebut kepada para pekerjanya, perusahaan akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.