Penulis
Intisari-Online.com - Hari sudah menjelang senja. Sore itu saya ditemani seorang kawan yang bermukim di Surabaya menerobos kepadatan lalu lintas kota untuk pergi ke House of Sampoerna. Ada pameran foto di sana. “Sudah pernah makan lontong balap, belum?” demikian pertanyaan yang dilontarkan kawan saya. Meski sudah sering mendengar nama makanan khas Surabaya itu, dengan malu-malu saya mengaku belum pernah mencicipinya.
Tanpa bertanya, kawan itu pun membawa saya mampir ke Warung Lontong Balap Cak Pri, atau yang lebih dikenal dengan nama Lontong Balap Sampoerna. Bertempat di Jalan Kebalen, Surabaya, warung lontong balap ini memang lokasinya tak jauh dari House of Sampoerna. Tak lama duduk menunggu, tersajilah di hadapan saya sepiring lontong balap dan segelas besar es kelapa muda sebagai penghalau rasa haus.
Lontong balap ini sebenarnya makanan yang sederhana saja. Selain lontong, terdapat tahu goreng yang diiris-iris tipis, tauge rebus, lentho, serta taburan bawang goreng untuk memperkaya rasa. Guyuran saus petisnya juga terasa segar di lidah. Agar makin sedap, lontong balap biasanya dikonsumsi bersama sate kerang berbumbu pedas sebagai pendamping.
Sembari makan, saya bertanya-tanya sendiri dari mana nama lontong balap berasal. Rupanya, nama lontong balap punya sejarah tersendiri. Menurut cerita turun-temurun, lontong balap dahulu kala dijual dalam wadah tanah liat besar yang disebut kemaron dan dijajakan dengan dipikul keliling kota. Kemaron berbobot berat apalagi jika harus terus dipikul, tak seperti panci logam berbobot lebih ringan yang banyak digunakan penjual lontong balap saat ini.
Awalnya, penjual lontong balap hanya ada di Pasar Wonokromo. Konon, para penjual lontong balap yang hendak berjualan di Wonokromo memikul kemaron dan berjalan cepat-cepat seperti balapan untuk sampai ke tempat tujuan. Ada yang berkata, para penjaja lontong balap berjalan cepat karena mereka harus berebut tempat berjualan yang strategis di Pasar Wonokromo. Namun, ada pula yang mengatakan kalau mereka berjalan terburu-buru karena beban kemaron yang dipikul membuat para penjual ingin sampai ke tujuan secepat mungkin. Entah mana yang benar.
Yang jelas, rasa lontong balap dari zaman dahulu hingga kini tidak berubah dan masih menjadi makanan favorit masyarakat Surabaya. Citarasanya yang segar campur pedas memang menggugah selera. Tentu saja membuat saya yang baru pertama mencicipi langsung menikmati dan menyukainya.