Penulis
Intisari-Online.com - Bayangkan jika kita diundang ke rumah seseorang dan dijamu di halaman rumah dengan makanan khas setempat yang menggiyurkan. Tentunya akan jauh lebih terasa santai dan akrab, dibandingkan dengan duduk berjejer dengan banyak orang di sebuah restoran.
Itulah yang akan dirasakan tamu bila berkunjung ke Rumah Makan Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku. Selain makanannya yang khas, suasana seperti di rumah sendiri menjadi alasan pengunjung untuk kembali dan kembali ke warung khas masakan bali tersebut.
Rumah Makan Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku berlokasi di jalan utama Kedewatan – Ubud, Gianyar, Bali.
Rumah makan ini didirikan pada 1986 oleh Sang Ayu Putu Wija. Wanita yang dikenal dengan julukan Ibu Mangku ini menggunakan konsep halaman rumah sebagai rumah makan.
Jika dilihat secara keseluruhan, rumah makan ini berupa rumah berarsitektur tradisional Bali yang membentang ke belakang. Di halaman depannya terdapat beberapa bale yang masing-masing mempunyai teras kecil tempat Ibu Mangku menyusun meja–meja kayu sebagai tempat makan dengan gaya lesehan.
Walaupun di bagian depan warung terdapat juga jejeran meja dan kursi layaknya restoran pada umumnya, lesehan tetap menjadi incaran utama para pengunjung.
Untuk menikmati masakan khas Ibu Mangku yang berbahan utama ayam, pengunjung tidak perlu merogoh kantung terlalu dalam. Sepriring nasi ayam campur dihargai Rp15.000.
Disebut nasi ayam campur lantaran dalam satu piring sudah tersaji nasi dan lauknya. Lauk tersebut terdiri atas potongan ayam betutu, ayam suir pedas, telor bumbu bali, tum ayam, satai lilit, kacang tanah goreng, hati-ampela bumbu pedas, lawar kacang panjang, urap pakis.
Sedangkan nasi ayam pisah, penyajian nasi dan lauk di piring berbeda, dihargai Rp25.000. Semua hidangan diracik dengan bumbu rumahan khas Bali. Bila menginginkan masakan lain, rumah makan ini juga menyediakan ayam betutu. Untuk minuman, hanya tersedia pilihan standar, seperti es the, es jeruk, dan soft drink.
Ide penggunaan halaman rumah sebagai tempat makan muncul lantaran daya tampung rumah makan yang berada di halaman depan tidak memadai.
Maka, digunakanlah meja–meja darurat yang ditempatkan di teras bale-bale halaman rumah. Tanpa disangka para pengunjung, utamanya wisatawan mancanegara, lebih menyukai tempat tersebut.
Mereka merasa lebih leluasa untuk berfoto–foto dengan background rumah tradisional Bali ataupun tanaman–tanaman khas Bali di areal halaman rumah. Tidak jarang, para pengunjung bersandar di dinding bale sembari meluruskan kaki sehabis makan.
Mereka merasa seakan–akan sedang berada di rumah sendiri. Melihat fenomena ini, akhirnya lahirlah konsep halaman rumah sebagai tempat makan.
Rumah makan ini buka setiap hari pada pukul 08.00 – 18.00 WITA, dan tutup pada hari raya Nyepi, Galungan, dan Kuningan. (Teguh Jiwabrata / idebisnis.biz)