Penulis
Intisari-Online.com - Jangan membayangkan ketupat kandangan ini seperti ketupat di Jawa. Awalnya memang mirip, tapi begitu disajikan, sosok ketupat itu tak lebih seperti nasi pera. Ya, ketupat Banjar ini terbuat dari beras pera, bukan pulen seperti di Jawa misalnya.
Namun, bagi warga Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, pera ini justru menjadi ukuran kelezatan nasi atau ketupat. Hal itu membuat banyak petaninya bertahan menanam beras ladang yang dikenal wangi, enak, tapi pera. Salah satu masakan dari beras pera ini adalah ketupat kandangan.
Ketupat kandangan disajikan bersama lauk ikan haruan (gabus) asap dan kuah kental bersantan. Kadang disediakan tambahan telur itik dari daerah Alabio, Kalimantan Selatan dan kerupuk. Remukan ketupat itu akan terendam santan yang sungguh kental. Aroma aneka bumbu berpadu dengan wangi sari daun bawang merah goreng yang tertabur di atas sajiannya. Namun aroma tertajam tetap bau khas ikan haruan yang diasapi.
Nama ketupat kandangan diambil dari nama daerah yang menjadi asal hidangan itu, Kandangan. Kota kecil ini menjadi ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, sekitar 125 kilometer arah timur laut dari Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Memasuki Kota Kandangan terlihat betebaran warung yang menjajakan kedua kuliner itu, terutama di pinggir jalan utama penghubung Banjarmasin dengan Kota Balikpapan di Kalimantan Timur. Bahkan, tugu masuk Kandangan dari arah kota tetangga, Rantau, pun berbentuk ketupat besar.
Beras siam unus
Beras yang digunakan untuk ketupat merupakan beras lokal yang ditanam di ladang (siam).”Secara umum, semua padi lokal boleh disebut sebagai siam unus. Beras itu dimuliakan dan dibenihkan oleh para petaninya sendiri sehingga kerap kali kita menemukan penamaan beras siam unus yang didasarkan kepada nama petani yang memuliakan benih padi itu. Jadi, varian dari padi lokal sangat banyak, tak berbilang,” ujar Faturrahman, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan.
Meski beras ini disuka oleh sebagian besar masyarakat Banjar, namun sejatinya produktivitas beras lokal masih kalah jika dibandingkan beras unggul. Menurut Faturrahman, jika dirata-rata, produktivitas tahunan untuk padi lokal sekitar 3,5 ton, sementara padi unggul 4,5 ton.
Izhar Khairullah, peneliti madya sekaligus Koordinator Program Balai Penelitian Lahan Rawa, Badan Litbang Pertanian, yang ada di Banjarbaru, mengatakan, kelebihan padi lokal antara lain soal rasa, fisik pera, tahan genangan, tahan keasaman tanah, dan mudah dalam hal perawatan.
Cita rasa khas masyarakat Banjar yang menyukai beras pera telah menyelamatkan keanekaragaman hayati padi di Kalimantan Selatan, yang ternyata juga menjadi sumber daya bagi pemuliaan benih padi di Indonesia. Siam unus mutiara dari Barito Kuala dan siam unus sabah dari Banjar adalah dua jenis padi lokal yang oleh Kementerian Pertanian ditetapkan sebagai salah satu benih unggulan.
Nah, lain ladang lain belalang. Lain daerah lain definisi lezat sebuah masakan. (Kompas.com)