Penulis
Intisari-online.com - Kerajaan Aceh adalah salah satu kerajaan Islam yang berdiri di ujung utara Pulau Sumatera sejak abad ke-13 hingga abad ke-20.
Kerajaan ini memiliki hubungan dagang dan diplomatik dengan berbagai negara, seperti Turki, Arab, India, Cina, Portugis, Inggris, dan lain-lain.
Kerajaan ini juga dikenal sebagai kerajaan yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaan dan keislamannya dari serangan-serangan Belanda, yang ingin menguasai seluruh Nusantara.
Perang Aceh adalah perang yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Belanda sejak tahun 1873 hingga 1904.
Perang ini merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Sumatera, termasuk Aceh, yang memiliki posisi strategis di jalur perdagangan internasional, terutama setelah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869.
Perang Aceh dipicu oleh pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian London tahun 1824, yang mengakui kedaulatan Aceh atas wilayahnya.
Belanda mulai mengintervensi urusan dalam negeri Aceh, seperti menandatangani perjanjian dengan beberapa daerah bawahan Aceh tanpa sepengetahuan Aceh, menguasai wilayah Deli yang merupakan bagian dari Aceh, dan mengirimkan utusan ke Aceh untuk menuntut pengakuan kekuasaan Belanda.
Aceh, yang merasa terancam dan tersinggung oleh sikap Belanda, menolak tuntutan Belanda dan bersiap-siap untuk berperang.
Aceh juga meminta bantuan dari negara-negara lain, seperti Turki, Inggris, dan Italia, untuk melawan Belanda.
Aceh juga memperkuat pertahanannya dengan membeli senjata-senjata modern dari Eropa, seperti meriam, senapan, dan kapal perang.
Jalannya Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung dalam tiga tahap, yaitu:
- Tahap Pertama (1873-1874): Belanda menyerang Aceh dengan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler.
Belanda berhasil merebut ibu kota Aceh, Kutaraja (sekarang Banda Aceh), dan mengepung istana sultan.
Namun, Belanda mengalami perlawanan sengit dari pasukan Aceh, yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Teuku Umar.
Jenderal Kohler tewas dalam pertempuran, dan Belanda terpaksa mengadakan gencatan senjata dengan Aceh pada tahun 1874.
- Tahap Kedua (1874-1896): Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dan lebih kuat untuk menaklukkan Aceh, yang dipimpin oleh Jenderal J.B. van Heutsz.
Belanda menerapkan strategi perang gerilya, yang bertujuan untuk memutus jalur komunikasi dan pasokan Aceh, serta membujuk atau memaksa para pemimpin lokal untuk tunduk kepada Belanda.
Belanda juga membangun benteng-benteng dan jalan-jalan di wilayah Aceh, serta melakukan kekejaman terhadap rakyat Aceh, seperti membakar desa-desa, membunuh, dan menangkap tawanan.
Aceh, yang tidak mau menyerah, terus melakukan perlawanan dengan cara melakukan serangan-serangan mendadak, menyergap, dan menyabotase.
Aceh juga mendapat dukungan dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh agama, seperti Tengku Cik di Tiro, Tengku Chik Pante Kulu, dan Tengku Muhammad Daud Syah, yang mengobarkan semangat jihad dan menggalang persatuan rakyat Aceh.
- Tahap Ketiga (1896-1904): Belanda mengubah strateginya menjadi lebih lunak dan diplomatis, dengan menawarkan perdamaian dan kerjasama dengan Aceh.
Belanda juga mencoba memecah belah Aceh dengan mengadu domba antara kelompok-kelompok yang berbeda, seperti antara kaum ulama dan kaum adat, antara sultan dan panglima, dan antara daerah pedalaman dan pesisir.
Belanda juga memanfaatkan perselisihan antara Sultan Muhammad Daud Syah, yang pro-Belanda, dan Tengku Muhammad Daud Syah, yang anti-Belanda.
Pada tahun 1903, Belanda berhasil menangkap dan membunuh Tengku Muhammad Daud Syah, yang merupakan pemimpin perlawanan Aceh.
Pada tahun 1904, Belanda berhasil menaklukkan istana sultan dan menangkap Sultan Muhammad Daud Syah.
Dengan demikian, Belanda mengumumkan berakhirnya Perang Aceh dan pembubaran Kerajaan Aceh.
Baca Juga: Ini Alasan Sriwijaya Disebut Sebagai Kedatuan Bukan Kerajaan
Akibat dan Dampak Perang Aceh
Perang Aceh menimbulkan akibat dan dampak yang besar bagi Aceh dan Belanda, yaitu:
- Bagi Aceh, perang ini menyebabkan kerugian yang sangat besar, baik dari segi materi, moral, maupun sosial.
Aceh kehilangan kedaulatan dan kekuasaannya atas wilayahnya, yang kemudian dijadikan sebagai Karesidenan Aceh oleh Belanda.
Aceh juga kehilangan banyak tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpinnya, yang gugur dalam perang atau ditangkap dan dibuang oleh Belanda.
Aceh juga mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan budaya, akibat dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh Belanda.
Aceh juga mengalami trauma dan luka yang mendalam, akibat dari kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda.
- Bagi Belanda, perang ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari segi finansial, militer, maupun politik.
Belanda harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai perang ini, yang mencapai sekitar 300 juta gulden.
Belanda juga kehilangan banyak tentara dan pejabatnya, yang tewas atau terluka dalam perang ini, yang mencapai sekitar 15.000 orang.
Belanda juga mendapat kritik dan kecaman dari dunia internasional, terutama dari negara-negara Eropa, yang mengecam tindakan Belanda yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional.
Perang Aceh adalah perang yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Belanda sejak tahun 1873 hingga 1904, yang dipicu oleh keinginan Belanda untuk menguasai Aceh, yang memiliki posisi strategis di jalur perdagangan internasional.
Perang ini berlangsung dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama (1873-1874), tahap kedua (1874-1896), dan tahap ketiga (1896-1904).
Perang ini menimbulkan akibat dan dampak yang besar bagi Aceh dan Belanda, yang menyebabkan kerugian yang sangat besar, baik dari segi materi, moral, maupun sosial.
Perang ini juga menunjukkan semangat dan kegigihan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan keislamannya dari serangan-serangan Belanda.