Penulis
Intisari-Online.com -Ada begitu banyak tokoh perempuan Indonesia yang bisa menjadi inspirasi generasi muda Indonesia.
Salah satua adalah Ruhana Kuddus (Roehana Koeddoes).
Ruhana Kuddus merupakan salah satu tokoh pers perempuan yang memprakarsai penerbitan surat kabar.
Nama surat kabarnya adalah Soenting Melajoe.
Bagaimana riwayat perjuanangan Ruhana Kuddus?
Ruhana Kuddus merupakan jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 2019.
Tak sekadar seorang jurnalis, Ruhana juga tokoh pendidikan nasional.
Dia mendirikan sekolah juga dikenal sebagai salah seorang tokoh emansipasi perempuan Indonesia.
Sekolah yang didirikan oleh Ruhana Kuddus adalah sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang, Sumatera Barat.
Ruhana Kuddus juga memiliki surat kabar sendiri yang diberi nama Sunting Melayu.
Surat kabar ini disebut sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Ruhana Kuddus lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884 dengan nama Siti Ruhana.
Ayahnya adalah Mohammad Rashad Maharadja Soetan, kepala jaksa Karesidenan Jambi dan Medan.
Ruhana Kuddus masih memiliki hubungan saudara dengan salah seorang tokoh pergerakan Indonesia, yaitu Sutan Sjahrir dan Agus Salim.
Sedari kecil, Ruhana tidak menempuh pendidikan secara formal.
Dia banyak mendapat pelajaran dari sang ayah, baik dari belajar membaca ataupun studi bahasa.
Ruhana sempat tinggal di Alahan Panjang, Sumatera Barat karena pekerjaan sang ayah, dan kembali ke Koto Gadang pada 1897, karena sang ibu meninggal dunia.
Sejak kembali ke kampung halaman, Ruhana semakin tertarik untuk mengajar para gadis untuk belajar tentang kerajinan tangan dan membaca Al Quran.
Ruhana pun tumbuh menjadi seorang perempuan yang memiliki tekad kuat dan sangat memajukan kaum perempuan.
Pada zamannya, ia merasa bahwa praktik diskriminasi terhadap perempuan merupakan suatu hal yang harus dilawan.
Didorong dengan kecerdikan, keberanian, serta perjuangannya, Ruhana melawan ketidakadilan demi mengubah nasib perempuan Indonesia.
Perjuangan Ruhana Kuddus dimulai dengan mendirikan sekolah di Koto Gadang pada 1905.
Tiga tahun kemudian, Ruhana menikah dengan seorang notaris, Abdoel Koeddoes, yang sangat mendukungnya dalam mendidik perempuan.
Pada Februari 1911, Ruhana memutuskan untuk mendirikan sebuah perkumpulan pendidikan perempuan bernama Kerajinan Amai Setia (KMS).
Tujuannya adalah untuk mengajarkan keterampilan di luar rumah tangga, serta membaca tulisan Jawa dan Latin.
Pada awal KMS berdiri, Ruhana berhasil merekrut sekitar 60 siswa.
Setelah empat tahun berdiri, KMS pun diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kondisi ini yang menjadi awal Ruhana menjalin hubungan kerja sama dengan Belanda, khususnya dalam memesan peralatan dan kebutuhan menjahit untuk sekolahnya.
Selain sibuk dalam dunia pendidikan, Ruhana juga aktif menulis puisi dan artikel, yang mengantarkannya menjadi seorang jurnalis.
Keterampilan Ruhana Kuddus dalam menulis mendorongnya mendirikan surat kabar sendiri yang bernama Sunting Melayu pada 1912.
Tujuan surat kabar tersebut adalah untuk meningkatkan pendidikan perempuan Indonesia, terutama karena banyak yang masih belum fasih berbahasa Belanda.
Surat kabar Sunting Melayu mengulas tentang isu-isu sosial, termasuk tradisionalisme, poligami, perceraian, dan pendidikan anak perempuan.
Di tengah kesibukan Ruhana sebagai jurnalis, nasib KMS berada di ujung tanduk.
Pada 22 Oktober 1916, salah satu murid Ruhana menjatuhkannya dari jabatan direktur perempuan dengan menuduhnya telah melakukan penyelewengan uang.
Akibatnya, Ruhana pun harus bolak-balik mendatangi persidangan untuk mengusut kasus ini.
Setelah beberapa kali ke persidangan, segala tuduhan Ruhana tidak terbukti, sehingga KMS dikembalikan kepadanya.
Tapi dia menolak karena ingin pindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat.
Ruhana akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Sunting Melayu pada awal 1921.
Mendirikan Roehana School Begitu pindah ke Bukittinggi, Ruhana Kuddus mendirikan sekolah bernama Roehana School, yang ia kelola sendiri tanpa bantuan siapa pun.
Banyak murid yang masuk ke Roehana School, bahkan tidak hanya dari Bukittinggi tetapi juga dari daerah lain.
Berkat kepandaian dan kepopulerannya, Ruhana mendapat tawaran menjadi pengajar di sekolah Dharma Putra.
Dia dipercaya untuk mengajar keterampilan menyulam dan merenda.
Selama bertahun-tahun, Ruhana terus mengajar di sekolah.
Melihat Belanda terus menyengsarakan rakyat pribumi, baik secara mental maupun fisik, Ruhana Kuddus tidak tinggal diam.
Dia ikut melakukan pergerakan politik melalui tulisannya yang membakar semangat para pejuang muda.
Ruhana juga memberikan ide penyelundupan senjata dari Koto Gadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayur dan buah.
Sampai akhir hidupnya, Ruhana terus memperjuangkan kaum perempuan.
Wafat Ruhana Kuddus meninggal pada 17 Agustus 1972 di Jakarta.
Jasadnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Pada 1974, pemerintah daerah Sumatera Barat memberi penghargaan kepada Ruhana Kuddus sebagai Wartawati Pertama.
Dia juga mendapat penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia pada 1987 dan Penghargaan Bintang Jasa Utama pada 2007.
Lalu, sejak 7 November 2019, pemerintah Indonesia menetapkan Ruhana Kuddus sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 120/TK/2019.