Find Us On Social Media :

Indah dan Beningnya Hulu Sang Sungai Bencana

By Ade Sulaeman, Jumat, 11 Desember 2015 | 15:30 WIB

Indah dan Beningnya Hulu Sang Sungai Bencana

Intisari-Online.com - Sungai Ciliwung yang di Jakarta sering dijadikan ”kambing hitam” penyebab bencana banjir, ternyata bermula dari sebuah tempat yang indah. Air Ciliwung yang di Jakarta terlihat coklat bahkan hitam, di hulunya sangat bening, bahkan bisa diminum langsung.

Sebanyak 100 orang yang berasal dari berbagai kelompok mengikuti acara Supporter Gathering ”Do Better for Earth” di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Mereka terdiri dari suporter atau orang yang rutin berdonasi untuk kegiatan World Wildlife Fund (WWF) dan penggalang dana (fund raiser) dari masyarakat untuk kegiatan WWF.

Selain sebagai pendukung dan penggalang dana, turut serta para penyandang tunarungu yang tergabung dalam International Award for Young People, Komunitas Ciliwung Depok Ratu Jaya, dan anak-anak sekolah dasar dari wilayah Cisarua.

Andik (23) datang dari Yogyakarta untuk mengikuti acara kumpul-kumpul seru ini. Ia terpilih sebagai penggalang dana asal Kota Gudeg yang diundang mengikuti acara ini. Dari setiap kota, memang hanya dipilih satu penggalang dana untuk mengikuti acara.

Sebagai penggalang dana, Andik bertugas kampanye tatap muka, menjelaskan tentang isu lingkungan dan kegiatan WWF serta mengajak masyarakat terlibat sebagai suporter.

”Menyenangkan menjadi fund raiser karena setiap hari ketemu orang baru, ngobrol dan menginspirasi mereka untuk lebih peduli pada lingkungan,” kata Andik yang sudah 10 bulan bergabung sebagai penggalang dana.

Bayu (22) sudah tujuh bulan menjadi suporter WWF. Ia secara rutin berdonasi untuk Program Warrior Orangutan. Mengikuti kegiatan di Cisarua yang bukan sekadar kumpul-kumpul ini membuatnya melihat langsung dari dekat kegiatan upaya pelestarian lingkungan, tidak sekadar dari brosur atau mendengar cerita saja.

Di acara ini, para peserta dibagi ke dalam 10 kelompok. Masing-masing kemudian harus datang dari Pos 1 ke Pos 5 dengan lintasan terbentang di antara hamparan kebun teh yang berbatasan dengan kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Sambil berjalan, mereka memunguti sampah yang ditempatkan ke dalam karung yang dibawa sepanjang perjalanan.

Lintasan tidak selalu datar, melainkan juga naik terjal atau turun curam sehingga membutuhkan bantuan tali pegangan. Namun, pemandangan hijau sejauh mata memandang di tengah sejuk udara pegunungan, membuat perjalanan menyenangkan. Rombongan juga melewati sungai-sungai kecil dan menyaksikan beberapa telaga dari ketinggian.

Tujuh telaga

Di setiap pos, peserta mendapat materi ringan tentang lingkungan dan kesempatan berinteraksi dengan alam. Di Pos 1 yang dipandu oleh Dudi Rufendi selaku Koordinator Restorasi WWF Indonesia, misalnya, peserta diminta mengamati kondisi hutan dan kebun, mulai dari jenis tumbuhan yang ditemukan, serangga, jamur, serasah, kerimbunan, hingga kerapatan tajuk.

Sebelumnya, peserta dijelaskan tentang kondisi Sub-Daerah Aliran Sungai Hulu Ciliwung yang tecermin dari kondisi di sekitar wilayah Pos 1. Dijelaskan Dudi, air Sungai Ciliwung berasal dari sungai-sungai kecil di hutan yang berkumpul di tujuh telaga, yakni Telaga Warna, Saat, Putri, Panjang, Cibulao, Periuk, dan Gayonggong.

Dari telaga ini mengalir ke sungai-sungai kecil yang merupakan anak Sungai Ciliwung sebelum semuanya berakhir di aliran Sungai Ciliwung.

”Air dari sungai-sungai kecil di hulu Ciliwung masih bagus kualitasnya, bahkan bisa diminum langsung. Di telaga-telaga juga masih baik. Namun, ketika sampai di anak sungai yang kanan kirinya berdiri permukiman, kualitas air sungai sudah memburuk karena limbah rumah tangga atau rumah makan di kawasan Puncak yang dibuang langsung ke sungai,” kata Dudi.

Salah satu peserta, Chintia (18) dari Komunitas Ciliwung Depok Ratu Jaya merasa senang bisa melihat langsung lingkungan alam di hulu Sungai Ciliwung, sungai yang juga mengalir tidak jauh dari rumahnya di Rukun Warga Ratu Jaya. Dengan melihat langsung kondisi Ciliwung, menurut Chintia, dia termotivasi untuk menjaga Ciliwung.

”Dari kecil, saya main di Ciliwung. Ternyata di hulu, Ciliwung bagus sekali. Coba kalau Ciliwung di tempat kami juga indah begini, bisa dijadikan tempat wisata. Airnya bisa dipakai untuk minum. Kalau sekarang, di musim kemarau air sungai kering, kalau hujan bikin banjir,” ungkap Chintia.

Selain melihat perbedaan kebun dan hutan, peserta juga diajak mengamati simulasi terjadinya hutan, bersikap kritis tentang asal-usul barang yang dikonsumsi, mengamati air, satwa, dan menanam pohon. Di Pos 3, misalnya, peserta diajak mengamati serangga dan burung yang ditemukan, seperti kadal, kodok, belalang, kepik, dan kumbang.

”Di sekitar sini ditemukan tidak kurang 120 jenis burung, seperti elang jawa, elang hitam, elang ular bido, elang brontok, paok pancawarna, bubut besar, burung hantu, kangkareng, burung kacamata, dan puyuh gonggong. Sementara satwa endemiknya, antara lain owa jawa, surili, macan tutul, kancil, dan trenggiling,” kata Novi Hardianto, pemandu Pos 3.

Aman bagi difabel

Keseruan mengakrabi alam tidak terkecuali tampak di kelompok 1 yang terdiri atas para penyandang tunarungu. Salah satunya, Michelle (25) yang merasa sangat terkesan karena bisa bertualang di alam bebas.

”Medannya cukup sulit, harus lewat bebatuan. Saya sempat jatuh tadi karena kurang memperhatikan jalan. Ini pengalaman pertama saya yang rasanya bikin ketagihan,” kata Michelle lewat bahasa isyarat.

Di Pos 4, Michelle dan kawan-kawan mengamati air yang mengalir di sebuah sungai kecil. Mereka mengumpulkan serangga atau hewan apa saja yang hidup di air, di antaranya beberapa jenis serangga air yang ternyata menjadi indikator bahwa air tersebut bersih. Air yang tercemar menyebabkan serangga jenis tertentu tidak bisa hidup di dalamnya.

Peserta lainnya, Lukman (21) yang juga tunarungu mengungkapkan, cukup terkejut karena semula menyangka perjalanan kali ini semacam piknik biasa. Ternyata kegiatannya berupa trekking yang terkadang melewati medan terasa cukup sulit, terutama untuk tubuhnya yang berbobot 80 kilogram.

”Yang jelas, setelah ini, saya akan mengajak keluarga terdekat untuk ikut menjaga alam lewat hal sederhana, seperti buang sampah pada tempatnya,” kata Lukman.

(Sri Rejeki/kompas.com)