Penulis
Intisari-online.com - Amir Sjarifuddin adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia.
Ia dikenal sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 20 November 1945, yang merupakan partai politik pertama yang berhaluan sosialis di Indonesia.
Namun, sosok Amir Sjarifuddin juga menimbulkan kontroversi karena perannya dalam beberapa peristiwa penting, seperti Peristiwa Madiun, Perjanjian Renville, dan Peristiwa G30S.
Amir Sjarifuddin lahir pada 27 April 1907 di Bengkulu.
Ia berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (sekarang Jakarta) dan menjadi jaksa di Pengadilan Negeri Padang.
Ia juga aktif dalam organisasi-organisasi nasionalis, seperti Jong Sumatranen Bond, Perhimpunan Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada tahun 1934, Amir Sjarifuddin ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda karena terlibat dalam gerakan bawah tanah yang menentang penjajahan.
Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, tetapi dibebaskan pada tahun 1942 setelah Jepang menguasai Indonesia.
Selama masa penjara, Amir Sjarifuddin mulai tertarik dengan ideologi sosialisme dan komunisme, yang ia pelajari dari buku-buku yang dibawakan oleh teman-temannya.
Pendirian Partai Sosialis Indonesia
Setelah dibebaskan, Amir Sjarifuddin bergabung dengan PNI dan menjadi salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang merupakan lembaga legislatif sementara pada masa revolusi.
Kemudian juga menjadi menteri pertahanan dalam kabinet pertama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno pada 2 September 1945.
Namun, Amir Sjarifuddin tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak radikal dan tidak pro-rakyat.
Ia juga merasa bahwa PNI terlalu mendominasi pemerintahan dan tidak memberikan ruang bagi partai-partai lain untuk berpartisipasi.
Baca Juga: Sosok Sutan Sjahrir, Negosiator Ulung yang Membela Kedaulatan Indonesia di Linggarjati
Oleh karena itu, pada 20 November 1945, ia memutuskan untuk keluar dari PNI dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) bersama dengan beberapa tokoh lain, seperti Sutan Syahrir, Setijadji, dan Sjahrir.
PSI adalah partai politik pertama yang berhaluan sosialis di Indonesia.
Partai ini memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat sosialis yang adil, merdeka, dan demokratis.
Partai ini juga menentang imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme, serta mendukung hak-hak buruh, tani, dan perempuan.
PSI juga berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya.
Kontroversi Amir Sjarifuddin
Meskipun memiliki visi yang mulia, Amir Sjarifuddin dan PSI juga menimbulkan kontroversi karena perannya dalam beberapa peristiwa penting, seperti:
- Peristiwa Madiun: Pada September 1948, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur.
Pemberontakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintah yang dianggap tidak revolusioner dan pro-Belanda.
Amir Sjarifuddin diduga terlibat dalam pemberontakan ini, karena ia memiliki hubungan dekat dengan PKI dan pernah menjadi anggota Komite Sentral PKI pada tahun 1946.
Namun, Amir Sjarifuddin membantah keterlibatannya dan mengklaim bahwa ia hanya berusaha untuk menengahi konflik antara pemerintah dan PKI.
Pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh pasukan pemerintah, dan Amir Sjarifuddin ditangkap dan dihukum mati pada 19 Desember 1948.
- Perjanjian Renville: Pada 17 Januari 1948, pemerintah Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville, yang merupakan hasil dari perundingan yang disponsori oleh Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Australia, dan Belgia).
Perjanjian ini mengakui kedaulatan Belanda atas sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali Jawa, Sumatera, dan Madura.
Perjanjian ini juga mengharuskan pemerintah Indonesia untuk menarik pasukannya dari daerah-daerah yang diklaim oleh Belanda.
Amir Sjarifuddin adalah salah satu penandatangan perjanjian ini, sebagai menteri pertahanan dan perdana menteri dalam kabinet yang dipimpin oleh Soekarno pada saat itu.
Perjanjian ini menuai banyak kritik dari rakyat Indonesia, terutama dari kalangan militer dan nasionalis, yang menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan.
Akibatnya, Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dari jabatannya pada 29 Januari 1948.
- Peristiwa G30S: Pada 30 September 1965, terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh Gerakan 30 September (G30S), yang merupakan kelompok yang terdiri dari beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yang berafiliasi dengan PKI.
Kudeta ini bertujuan untuk menghapuskan Dewan Jenderal, yang merupakan kelompok yang terdiri dari beberapa jenderal senior Angkatan Darat yang dianggap anti-komunis dan pro-Amerika.
Kudeta ini gagal, dan menyebabkan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, serta pemenjaraan dan pembunuhan terhadap banyak tokoh politik dan budaya yang dianggap terkait dengan PKI.
Amir Sjarifuddin disebut-sebut sebagai salah satu tokoh yang terlibat dalam perencanaan kudeta ini, karena ia pernah menjadi anggota PKI dan memiliki hubungan dekat dengan beberapa pemimpin G30S, seperti Letkol Untung dan Aidit.
Namun, tidak ada bukti yang kuat yang mengaitkan Amir Sjarifuddin dengan peristiwa ini, dan ia sendiri sudah meninggal sebelum peristiwa ini terjadi.
Kesimpulan
Amir Sjarifuddin adalah sosok yang kontroversial di balik pendirian Partai Sosialis Indonesia.
Ia memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, sebagai salah satu tokoh yang berjuang untuk kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat.
Namun, ia juga menimbulkan banyak masalah dan konflik, karena perannya dalam beberapa peristiwa penting, seperti Peristiwa Madiun, Perjanjian Renville, dan Peristiwa G30S.
Amir Sjarifuddin adalah sosok yang patut dihormati, tetapi juga patut dikritisi.