Perang Puputan Margarana, Peristiwa Heroik I Gusti Ngurah Rai dan Pasukan Ciung Wanara

Afif Khoirul M

Penulis

Foto Perang Puputan Margarana pimpinan I Gusti Ngurah Rai, pada 20 November 1946.

Intisari-online.com - Perang Puputan Margarana tidak terlepas dari konteks perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sejak 17 Agustus 1945.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda.

Namun, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Hindia Belanda.

Belanda melakukan serangan-serangan militer yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I dan II.

Agresi Militer Belanda I terjadi pada 21 Juli 1947 hingga 4 Agustus 1947, yang berhasil merebut sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan dari tangan Indonesia.

Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 hingga 5 Januari 1949, yang berhasil menguasai ibu kota Indonesia, Yogyakarta, dan menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Bali merupakan salah satu wilayah yang berhasil dipertahankan oleh Indonesia dari serangan Belanda.

Bali memiliki peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena menjadi basis operasi dan tempat berlindung bagi para pejuang dari Jawa dan Sumatera yang terdesak oleh Belanda.

Salah satu tokoh pejuang yang berjuang di Bali adalah I Gusti Ngurah Rai, seorang perwira tinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

I Gusti Ngurah Rai lahir pada 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Badung, Bali.

Ia merupakan lulusan terbaik Sekolah Pendidikan Perwira di Bandung pada tahun 1940.

Ia pernah bertugas di Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah sebelum ditugaskan ke Bali pada tahun 1946.

Ia membentuk pasukan khusus yang diberi nama Pasukan Ciung Wanara, yang terdiri dari 96 orang prajurit pilihan dari berbagai daerah di Indonesia.

Pasukan ini dilatih secara intensif dan disiplin oleh I Gusti Ngurah Rai, yang dikenal sebagai pemimpin yang tegas, berani, dan cerdas.

Baca Juga: Informasi Tentang Peristiwa Rengasdengklok yang Terjadi Sebelum Peristiwa Proklamasi

Jalannya Perang

Pasukan Ciung Wanara bergerak dari Jawa ke Bali pada bulan Oktober 1946. Mereka berencana untuk melakukan serangan mendadak terhadap Belanda yang bermarkas di Denpasar.

Namun, rencana ini bocor karena adanya mata-mata Belanda yang menyamar sebagai pejuang Indonesia.

Belanda pun mengetahui keberadaan dan gerak-gerik Pasukan Ciung Wanara, dan melakukan pengepungan terhadap mereka.

Pada tanggal 20 November 1946, Pasukan Ciung Wanara berada di Desa Marga, Tabanan, Bali.

Mereka mendapat kabar bahwa Belanda akan melakukan serangan besar-besaran terhadap mereka.

I Gusti Ngurah Rai memutuskan untuk tidak mundur atau menyerah, tetapi memilih untuk berperang sampai mati.

Ia mengajak pasukannya untuk melakukan puputan, yaitu perang habis-habisan tanpa kompromi, yang merupakan tradisi dalam budaya Bali. Ia berkata kepada pasukannya:

"Saudara-saudara sekalian, kita telah berjuang sejak lama untuk kemerdekaan Indonesia. Kita telah berkorban banyak nyawa dan harta benda. Kita tidak akan mundur selangkah pun dari medan perang ini. Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Kita akan melakukan puputan, seperti yang telah dilakukan oleh para leluhur kita. Kita akan mati dengan terhormat sebagai pahlawan bangsa. Kita akan mati sebagai orang Bali yang berani dan gagah. Saudara-saudara sekalian, maju terus! Jangan mundur! Jangan takut! Allahu Akbar! Merdeka!"

Pasukan Ciung Wanara kemudian bergerak menuju lapangan terbuka yang bernama Margarana, yang berarti "hutan mati".

Di sana, mereka disambut oleh pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 600 orang, yang dilengkapi dengan senjata api, tank, dan pesawat tempur.

Pasukan Ciung Wanara hanya memiliki senjata tradisional seperti keris, tombak, dan pedang, serta beberapa pucuk senapan.

Meskipun demikian, mereka tidak gentar dan terus maju menyerang pasukan Belanda dengan semangat juang yang tinggi.

Perang Puputan Margarana berlangsung selama sekitar satu jam.

Pasukan Ciung Wanara bertempur dengan gagah berani, tetapi tidak mampu menahan gempuran pasukan Belanda yang lebih besar dan lebih modern.

Satu per satu, mereka gugur di medan perang. I Gusti Ngurah Rai sendiri tewas tertembak di dada oleh seorang tentara Belanda.

Hanya ada beberapa orang yang selamat dari perang ini, yang berhasil melarikan diri ke hutan.

Dari 96 orang prajurit Pasukan Ciung Wanara, hanya 9 orang yang masih hidup.

Baca Juga: Etnis Rohingya Datang Minta Izin Mendarat, Kenapa Warga Aceh Menolak Mereka?

Akhir Perang

Perang Puputan Margarana berakhir dengan kemenangan Belanda, tetapi juga dengan kekalahan moral.

Belanda merasa malu dan kagum dengan keberanian dan pengorbanan Pasukan Ciung Wanara, yang rela mati demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Belanda pun mengakui bahwa mereka telah menghadapi lawan yang tangguh dan berharga.

Belanda kemudian menguburkan jenazah I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya dengan hormat, dan membangun sebuah tugu peringatan di tempat perang tersebut.

Perang Puputan Margarana menjadi salah satu perang yang paling menginspirasi dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Perang ini menunjukkan semangat juang, patriotisme, dan nasionalisme yang tinggi dari para pejuang Indonesia, khususnya dari Bali.

Perang ini juga menjadi bukti bahwa Indonesia tidak akan pernah menyerah dalam mempertahankan kemerdekaannya dari penjajah.

Perang ini menjadi salah satu faktor yang mendorong Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.

I Gusti Ngurah Rai dan Pasukan Ciung Wanara menjadi pahlawan nasional Indonesia, yang namanya diabadikan dalam berbagai nama jalan, sekolah, bandara, dan monumen.

Tugu peringatan Perang Puputan Margarana menjadi salah satu tempat wisata sejarah yang wajib dikunjungi di Bali.

Di sana, kita bisa melihat patung I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya, serta museum yang menyimpan berbagai artefak dan informasi tentang perang tersebut.

Di sana, kita juga bisa merasakan semangat dan penghargaan terhadap para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Artikel Terkait