Penulis
Untuk mengantisipasi pengaruhnya yang masih besar, Belanda kemudian mengasingkan Cut Nyak Dien ke Batavia lalu ke Sumedang hingga akhir hayatnya.
Intisari-Online.com -Tak bisa dipungkiri, Cut Nyak Dien adalah pahlawan terbesar yang pernah dimiliki oleh Aceh.
Kegigihannya melawan Belanda menjadikan Cut Nyak Dien menjadi pahlawan wanita paling ikonik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Lahir di Aceh, berjuang untuk Aceh, tapi kenapa Cut Nyak Dien dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat?
Seperti disebut di awal, Cut Nyak Dien merupakan pahlawan nasional asal Aceh yang turut berjuang melawan penjajah pada Perang Aceh (1873-1904).
Perjuangan Cut Nyak Dien di medan perang dimulai sepeninggal suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga, tewas dalam pertempuran melawan Belanda.
Bersama suami keduanya yang juga pejuang Aceh, Teuku Umar, Cut Nyak Dien menekan bangsa penjajah hingga Belanda terus-terusan mengganti jenderalnya yang bertugas.
Meski dikenal sebagai pahlawan yang lahir dan berjuang di Aceh, Cut Nyak Dien menghabiskan sisa hidupnya di Sumedang, Jawa Barat.
Lalu kenapaCut Nyak Dien meninggal di Sumedang?
Ditangkap dan diasingkan Belanda
Pada 11 Februari 1899, Cut Nyak Dien kembali kehilangan suami karena Teuku Umar gugur setelah tertembak pasukan Belanda.
Setelah itu, Cut Nyak Dien meneruskan memimpin perjuangan seorang diri dengan cara bergerilya.
Selama enam tahun, dia gigih berjuang dari satu rimba ke rimba lain bersama pasukannya demi mempertahankan kebebasan rakyat Aceh dari penjajahan Belanda.
Berkat keberaniannya dalam memimpin pasukan pejuang Aceh, Cut Nyak Dien dikenal sebagai "Ratu Jihad" yang bahkan membuat tahut pihak Belanda.
Namun, dalam perjalanannya menghindari pasukan Belanda, persediaan bahan makanan pasukannya mulai menipis dan kesehatan Cut Nyak Dien sendiri semakin menurun.
Selama delapan hari, Cut Nyak Dien sudah tidak makan nasi dan hanya mengandalkan pisang bakar.
Dia juga terserang penyakit yang membuat matanya rabun.
Tidak tega melihat kondisi pemimpinnya, Pang Laot Ali memberitahukan persembunyian mereka kepada Belanda.
Lembaran perjuangan Cut Nyak Dien pun tertutup pada 4 November 1905, saat persembunyiannya disergap oleh Belanda.
Cut Nyak Dien kemudian ditangkap Belanda dan sempat mendapatkan perawatan di Banda Aceh.
Setelah kondisinya membaik, Cut Nyak Dien diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906, karena dianggap masih membahayakan keamanan.
Pasalnya, dalam kondisi sakit pun, Cut Nyak Dien masih menambah semangat perlawanan rakyat Aceh dan masih berhubungan dengan para pejuang yang belum tertangkap.
Hari-hari terakhir Cut Nyak Dien di Sumedang
Cut Nyak Dien pada awalnya diasingkan ke Batavia, tetapi diminta oleh Pangeran Aria Soeria Atmaja, Bupati Sumedang, untuk dipindahkan ke wilayahnya yang dianggap lebih aman.
Selama di Sumedang, Pangeran Aria Soeria Atmaja menempatkan Cut Nyak Dien di rumah Haji Sanusi, yang tidak jauh dari Masjid Agung Sumedang.
Bupati Pangeran Aria Soeria Atmaja sangat memperhatikan keadaan tokoh srikandi Aceh ini.
Semua kebutuhannya dicukupi dengan baik.
Selama di pengasingan, Cut Nyak Dien tetap berada dibawah pengawasan ketat militer Belanda.
Namun, hal ini tidak menyurutkan niatnya untuk menjadi dekat dengan masyarakat sekitar.
Dengan kondisi mata yang tidak lagi prima, Cut Nyak Dien menghabiskan waktu di pengasingan dengan memberikan pelajaran agama Islam, termasuk membaca Al Quran dan pengajian.
Kegiatan itu dilakukan Cut Nyak Dien hingga wafatnya pada 6 November 1908.
Cut Nyak Dien dimakamkan di pemakaman Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang.
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959.