Kisah Kerajaan Aceh, Kemegahan dan Kejayaan di Ujung Sumatera di Bawah Sultan Iskandar Muda

Afif Khoirul M

Penulis

Masjid Raya Baiturrahman peninggalan Kerajaan Aceh. Simak faktor-faktor kemunduran Kerajaan Aceh yang melibatkan konflik internal, invasi Belanda, dan campur tangan Rusia.

Intisari-online.com - Kerajaan Aceh adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di ujung utara Pulau Sumatera, Indonesia.

Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496, yang merupakan keturunan dari raja-raja Lamuri dan Samudera Pasai.

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang berhasil menguasai sebagian besar wilayah Sumatera, Semenanjung Malaya, dan sebagian Kalimantan.

Lokasi dan Perdagangan Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh memiliki lokasi yang strategis, yaitu di dekat Selat Malaka, yang merupakan jalur perdagangan utama antara Timur dan Barat.

Kerajaan ini memanfaatkan lokasinya untuk mengembangkan perdagangan dengan berbagai negeri, baik di Asia maupun di Eropa.

Beberapa komoditas yang diperdagangkan oleh Kerajaan Aceh adalah lada, emas, perak, timah, rempah-rempah, kain, gading, dan budak.

Kerajaan Aceh juga memiliki angkatan laut yang kuat dan tangguh, yang digunakan untuk melindungi kepentingan perdagangan dan politiknya.

Angkatan laut Kerajaan Aceh terdiri dari kapal-kapal besar yang disebut jong, yang mampu mengangkut hingga 500 ton barang.

Kapal-kapal ini dilengkapi dengan meriam-meriam yang dibuat oleh ahli-ahli dari Turki dan Persia.

Angkatan laut Kerajaan Aceh juga terkenal dengan keberaniannya dalam menghadapi musuh-musuhnya, seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Mataram.

Baca Juga: 7 Peninggalan Kerajaan Banjar, Termasuk Masjid Tertua di Kalimantan

Politik dan Hubungan Luar Negeri Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh memiliki sistem pemerintahan yang monarki absolut, di mana sultan memiliki kekuasaan tertinggi dalam segala bidang.

Sultan dibantu oleh para pejabat yang disebut wazir, yang bertugas mengurus urusan administrasi, keuangan, peradilan, agama, militer, dan luar negeri.

Sultan juga memiliki pasukan khusus yang disebut prajurit meukuta alam, yang merupakan pengawal pribadi sultan dan penjaga istana.

Kerajaan Aceh memiliki hubungan luar negeri yang luas dan dinamis dengan berbagai negeri lainnya.

Kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara, seperti Demak, Banten, Gowa-Tallo, Ternate-Tidore, Brunei, Sulu, dan Johor.

Kerajaan ini juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Utsmaniyah, Persia, India Mughal, Cina Ming dan Qing, Siam Ayutthaya, Jepang Tokugawa, Prancis Louis XIV, Inggris Charles II, dan Belanda VOC.

Budaya dan Agama Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh memiliki budaya yang kaya dan beragam, yang dipengaruhi oleh berbagai unsur lokal dan asing.

Budaya lokal Kerajaan Aceh mencerminkan tradisi masyarakat Aceh yang bersuku Austronesia dan berbahasa Aceh.

Budaya asing Kerajaan Aceh berasal dari pengaruh Islam, India, Arab, Persia, Turki, Cina, Eropa, dan lain-lain.

Budaya Kerajaan Aceh dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupannya, seperti arsitektur, seni, sastra, musik, tari, pakaian, makanan, dan adat istiadat.

Beberapa contoh budaya Kerajaan Aceh adalah:

Baca Juga: Kerajaan Gowa-Tallo, Bone, dan Buton, Menjadi Bukti Peran Para Ulama Sebarkan Ajaran Islam di Pulau Sulawesi

- Masjid Raya Baiturrahman, yang merupakan simbol keagungan dan keislaman Kerajaan Aceh.

Masjid ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 dengan gaya arsitektur Mughal dan Utsmaniyah.

- Hikayat Prang Sabi, yang merupakan karya sastra yang menceritakan tentang perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda.

Karya ini ditulis oleh Teungku Chik di Tiro pada tahun 1898.

- Rampai Aceh, yang merupakan kumpulan puisi-puisi yang menggambarkan keindahan alam dan budaya Aceh.

Karya ini ditulis oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama dan penyair sufi yang hidup pada abad ke-16.

- Rapai, yang merupakan alat musik tradisional yang berbentuk rebana besar. Alat musik ini digunakan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyian-nyanyian religius.

- Tari Saman, yang merupakan tarian rakyat yang berasal dari Gayo.

Tarian ini menampilkan gerakan-gerakan kompak dan harmonis dari para penari yang duduk berbaris sambil menyanyikan syair-syair Islami.

- Pakaian adat Aceh, yang terdiri dari baju kurung dan celana panjang untuk laki-laki, serta baju kurung dan sarung untuk perempuan.

Pakaian ini dilengkapi dengan aksesori seperti songkok, keris, selendang, kalung, anting-anting, dan cincin.

- Makanan khas Aceh, yang terkenal dengan cita rasa pedas dan gurih.

Beberapa contoh makanan khas Aceh adalah mie aceh, nasi gurih, martabak aceh, sate matang, ayam tangkap, sie reuboh, kue timphan, dan kopi aceh.

Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam yang beragama Islam secara murni dan taat.

Kerajaan ini menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupannya, baik dalam bidang ibadah, akhlak, hukum, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, maupun militer.

Kerajaan ini juga menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di Nusantara, khususnya dalam bidang tasawuf.

Keruntuhan dan Peninggalan Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh mengalami kemunduran dan keruntuhan akibat beberapa faktor internal dan eksternal.

Faktor internal meliputi perselisihan antara sultan-sultan dan pejabat-pejabat kerajaan, pemberontakan rakyat dan daerah-daerah bawahan, serta penurunan kualitas pemerintahan dan perekonomian.

Faktor eksternal meliputi persaingan perdagangan dengan Belanda VOC, perang melawan Portugis di Melaka dan Mataram di Jawa, serta invasi Inggris di Bengkulu.

Kerajaan Aceh akhirnya tumbang pada tahun 1903 setelah mengalami perang panjang selama 70 tahun dengan Belanda VOC.

Sultan terakhir Kerajaan Aceh adalah Sultan Muhammad Daud Syah (1875-1903), yang ditangkap oleh Belanda pada tahun 1903 dan dibuang ke Sumedang sampai meninggal pada tahun 1907.

Dengan demikian berakhirlah riwayat Kerajaan Aceh sebagai kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Artikel Terkait