Penulis
Para anggota Gelanggang Seniman Merdeka yang kelak lebih dikenal sebagai Angkatan 45.
Intisari-Online.com -Ini adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah kesusastraan di Indonesia: lahirnya manifesto yang dikenal sebagai Surat Kepercayaan Gelanggang.
Manifesto ini lahir dari beberapa seniman-sastrawan ini kelak dikenal sebagai Angkatan '45.
Bagaimana latar belakangnya?
Angkatan 45 tak bisa dipisahkan denganGelanggang Seniman Merdeka.
Ini adalah perkumpulan seniman yang dicetuskan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin yang juga seniman dan sastrawan.
Anggota seniman yang tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka bukan hanya pengarang, tapi juga ada pelukis.
Beberapa anggota yang tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka adalah Mochtar Apin, Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, dan masih banyak lainnya.
Gelanggang Seniman Merdeka didirikan di Jakarta tahun 1946 oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin.
Latar belakang lahirnya Gelanggang Seniman Merdeka ini didasari oleh idealisme seniman untuk lepas dari ikatan-ikatan atau pengaruh dari angkatan sebelumnya.
Serta pihak penguasa yang mereka anggap munafik dan menghambat kreativitas seni.
Kata Gelanggang sendiri berasal dari nama ruang budaya majalah mingguan Siasat, yaitu Gelanggang.
Para seniman yang berkumpul dalam Gelanggang Seniman Merdeka tidak hanya pengarang, melainkan juga ada pelukis.
Tokoh-tokoh yang bergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka adalah:
- Mochtar Apin (Pelukis)
- Henk Ngantung (Pelukis)
- Baharuddin MS (Pelukis)
- Basuki Resobowo (Pelukis)
- Pramoedya Ananta Toer (Pengarang)
- Umar Ismail (Pengarang)
- Mochtar Lubis (Pengarang)
- Sitor Situmorang (Pengarang)
Surat Kepercayaan Gelanggang
Dalam mencapai tujuan mereka, para sastrawan Indonesia merumuskan surat pernyataan sikap kebudayaan yang disebut Surat Kepercayaan Gelanggang, yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan 45.
Surat Kepercayaan Gelanggang ini dibuat dan ditandatangani pada 18 Februari 1950 yang kemudian baru disebarluaskan tanggal 22 Oktober 1950 melalui majalah Siasat.
Begini isinya:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.
Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.
Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia.
Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950