Peristiwa 17 Oktober 1952, Aksi Demonstrasi AH Nasution dan Perwira Militer di Depan Istana Merdeka

Afif Khoirul M

Penulis

17 Oktober 1952, Tank dan Meriam Mengarah ke Istana.

Intisari-online.com - Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang menunjukkan ketegangan antara militer dan sipil di masa awal kemerdekaan.

Pada hari itu, sekitar 5.000 orang anggota TNI AD, dipimpin oleh Jenderal AH Nasution, melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta.

Mereka membawa tank, meriam, dan senjata api, serta membentangkan spanduk-spanduk yang menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) segera.

Latar belakang peristiwa ini adalah adanya konflik internal di tubuh TNI AD antara kelompok pro-Nasution dan pro-Sudirman.

Nasution adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang berhaluan nasionalis dan anti-komunis. Ia menginginkan TNI AD menjadi kekuatan politik yang dominan di Indonesia.

Sudirman adalah Panglima Besar TNI yang berhaluan religius dan moderat.

Ia menginginkan TNI AD menjadi kekuatan profesional yang netral dari politik.

Selain itu, ada juga campur tangan politik dari partai-partai yang berpengaruh di DPRS, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Masyumi.

Mereka berusaha mempengaruhi kebijakan militer, seperti anggaran pertahanan, struktur organisasi, dan penempatan personel.

Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan perwira militer, terutama yang pro-Nasution.

Puncaknya terjadi pada tanggal 16 Oktober 1952, ketika DPRS mengeluarkan resolusi yang menolak usulan Nasution untuk membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sebagai lembaga tertinggi pertahanan negara.

Baca Juga: Apa Manfaat Persatuan dan Kesatuan dalam Peristiwa Sumpah Pemuda?

Resolusi ini juga mengecam Nasution sebagai "diktator militer" dan menuntut pengunduran dirinya sebagai KSAD.

Nasution merasa tersinggung dan marah dengan resolusi tersebut.

Ia menganggap DPRS sebagai lembaga tidak sah yang tidak mewakili rakyat Indonesia.

Ia juga merasa DPRS menghalangi upaya TNI AD untuk mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman luar maupun dalam.

Untuk menunjukkan protesnya, Nasution mengajak para perwira militer yang loyal kepadanya untuk melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952.

Tujuannya adalah untuk mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan DPRS dan menyelenggarakan pemilu segera.

Nasution berharap dengan pemilu, akan terbentuk pemerintahan yang lebih kuat dan stabil, serta lebih mendukung kepentingan TNI AD.

Aksi demonstrasi ini mengejutkan banyak pihak, termasuk Presiden Soekarno sendiri. Soekarno merasa terancam dengan adanya tank dan meriam yang mengarah ke istana.

Ia khawatir akan terjadi kudeta militer atau perang saudara di Indonesia.

Untuk meredakan situasi, Soekarno meminta bantuan Sudirman untuk menenangkan para demonstran.

Sudirman datang ke lokasi dengan membawa bendera putih sebagai simbol perdamaian.

Baca Juga: Penjelasan Dua Hikmah di Balik Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad

Ia berhasil membujuk para demonstran untuk membubarkan diri dengan janji bahwa Presiden akan mempertimbangkan tuntutan mereka.

Peristiwa 17 Oktober 1952 berakhir tanpa ada korban jiwa atau kerusakan fisik yang besar.

Namun, peristiwa ini meninggalkan dampak politik yang signifikan.

Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya hubungan antara militer dan sipil di Indonesia.

Peristiwa ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Nasution sebagai tokoh militer yang karismatik dan ambisius.

Peristiwa ini juga menunjukkan betapa besar peran Sudirman sebagai tokoh militer yang bijaksana dan moderat.

Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi salah satu babak penting dalam sejarah Indonesia yang layak untuk dipelajari dan direfleksikan.

Peristiwa ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara militer dan sipil dalam sebuah negara demokrasi.

Peristiwa ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan dan konflik.

Artikel Terkait