Penulis
Deborah Sumini, sosok mantan Ketua Gerwani Pati, mengaku dicap bermoral bejat usai peristiwa G30S.
Intisari-Online.com -Peristiwa di malam jahanam pada 1 Oktober 1965 dini hari itu telah menyeret banyak orang yang tidak terkait dengannya.
Salah satunya adalah Deborah Sumini, Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani ranting Pati, Jawa Tengah.
Gerwani adalah sebuah gerakan perempuan progresif yang naasnya sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah peristiwa yang sering disebut dengan Gerakan 30 September 1965 itu, Sumini menerima siksaan yang tak terperi.
Dia ditahan selama hampir 6,5 tahun tanpa pengadilan.
Dia juga menerima siksaan demi siksaan, stigma, bahkan cemoohan selama mendekam di penjara.
Sumini masih tidak memahami apa yang menjadi dosa besar dirinya ketika memutuskan untuk bergabung dengan Gerwani.
"Kami dibilang bejat moralnya. Itu setiap hari yang masih saya dengar. Belum lagi digebuki setiap pemeriksaan," kata Sumini saat ditemui di sela acara "Simposium Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta, tahun 2016 silam sebagaimana dilansir Kompas.com.
Sumini menceritakan, ketertarikannya terhadap Gerwani muncul karena melihat program-programnya yang sangat berpihak pada perempuan.
Dulu di Pati, adalah sebuah kewajaran ketika seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas II sekolah rakyat dipaksa untuk menikah.
Saat itu, kata Sumini, Gerwani mengeluarkan larangan terhadap praktik perkawinan terhadap anak perempuan yang masih di bawah umur.
Selain itu, Gerwani juga menjadi organisasi perempuan pertama yang merespons ketika pemerintah mencanangkan pemberantasan buta huruf.
Sepulang kerja, Sumini selalu mengajar membaca dan menulis anak-anak di desanya.
Bahkan ketika pada saat itu belum ada taman kanak-kanak, dia bersama teman-temannya di Gerwani berinisiatif untuk membangan TK Melati pertama di Pati.
"Kalau pagi saya kerja. Malam ngajar buta huruf. Lalu saya berhenti kerja, mengajar di TK Melati. Waktu itu belum ada TK, tapi Gerwani sudah membuat TK Melati. Saya ikut karena program-programnya menyentuh hati saya," ungkapnya.
Setelah peristiwa G-30-S meletus, Gerwani menjadi salah satu organisasi yang dikaitkan dengan PKI.
Mereka pun menjadi sasaran penumpasan.
Sumini dan beberapa temannya ditangkap oleh tentara sekitar tanggal 21 November 1965.
Sumini sempat mendekam selama 5 bulan di penjara Pati, kemudian dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita di Bulu, Jawa Tengah.
Hingga 6,5 tahun ditahan, Sumini tidak pernah diadili.
Saat itu, tutur Sumini, Gerwani difitnah sebagai organisasi sayap Partai Komunis Indonesia dan ikut melakukan aksi kekejaman terhadap 6 jenderal yang ditangkap pada peristiwa G-30-S.
Sumini mengatakan, pada 1965 koran Berita Yudha dari Angkatan Bersenjata mengabarkan ada dua nama anggota Gerwani yang ditangkap, yaitu Jamilah dan Fainah.
Keduanya diberitakan melakukan kekerasan, seperti menyileti dan mencungkil mata para jenderal.
Berita itu memancing amarah masyarakat.
Gerwani menjadi bulan-bulanan.
Pemberangusan terhadap organisasi itu pun dilakukan di bawah pimpinan tentara.
Sumini menyangkal bahwa kedua perempuan itu adalah anggota Gerwani.
Menurut dia, kedua wanita itu adalah pekerja seks komersial yang dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani.
Di dalam penjara Bukit Duri, Jakarta, seorang teman Sumini pernah bertemu dengan Fainah.
Kepadanya, Fainah mengaku dipaksa menari dalam keadaan telanjang di hadapan para jenderal sebelum pembunuhan.
Tarian diiringi lagu "Genjer-Genjer".
"Padahal, setelah diangkat jenazahnya itu, mata mereka semua utuh. Itu dikatakan oleh dokter forensik. Tidak benar kalau Gerwani dilatih untuk mencungkil mata jenderal," ujar Sumini.
Pada umurnya yang sudah semakin tua, Sumini hanya berharap dirinya mendapatkan rehabilitasi untuk membersihkan namanya dari peristiwa G-30-S.
Sumini mengaku tidak tahan jika harus menerima teror dan stigma sepanjang hidupnya.
Setelah dilepaskan dari tahanan, Sumini mengaku selalu mendapat teror dari aparat kemanan.
Hampir setiap hari dia dihubungi oleh pihak kepolisian untuk menanyakan tentang keberadaan Sumini dan apa saja yang akan ia lakukan di luar rumah.
Gerak-gerik Sumini selalu diawasi.
Sumini mengungkapkan, beberapa kali dia dan korban tragedi 1965 dilarang oleh pihak berwajib dan kelompok masyarakat tertentu untuk membuat acara pertemuan, meskipun sekadar arisan atau temu kangen.
Sumini mengaku heran kenapa dia harus masih menerima perlakuan seperti itu kendati para korban tragedi 1965 sudah diperlakukan dengan tidak adil setelah G-30-S.
"Saya inginnya nama saya itu dipulihkan kembali. Stigma masih saya rasakan. Kan jokowi dengan Nawacita-nya berjanji akan melindungi seluruh warga negara. Saya ini kan juga warganya, lah kenapa saya ini terus diteror," kata Sumini.