Namun, meskipun demikian, rupanya tidak semua pasukan meninggalkan daerah mereka, seperti di Brebes dan Tegal.
Para pejuang di dua wilayah tersebut masih tetap bertahan dan menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.
Mereka melakukan operasi militer dengan membentuk Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) dan Gerilya Republik Indonesia (GRI).
Terbentuknya dua gerakan ini memicu timbulnya gerakan-gerakan lain yang menghasilkan pemberontakan di Jawa Tengah.
Sebelum adanya pemberontakan DI/TII di bawah kepemimpinan Amir Fatah, di Jawa Tengah sudah lebih dulu pernah muncul gerakan yang serupa dipimpin oleh Abas Abdullah.
Pasukan yang dipimpin Abas ini bernama Pasukan Hizbullah, di mana saat itu mereka memutuskan untuk pergi ke wilayah sengketa Indonesia-Belanda, yaitu Brebes.
Sampai di sana, pasukan ini membentuk pasukan baru bernama Mujahidin yang disebut sebagai Majelis Islam (MI).
Bukan hanya pasukan Hizbullah, Amir Fatah juga saat itu tengah mendatangi Brebes.
Keinginannya bergabung dalam pemberontakan ini adalah karena ia merasa memiliki cara pandang dan ideologi yang sama, khususnya dalam membentuk Negara Islam Indonesia.
Akhirnya pada 23 Agustus 1949, Amir bersama teman-temannya memutuskan bergabung dengan NII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo.
Saat itu, basis kekuatan Kartosoewirjo berada di Jawa Barat.
Sejak saat itu, Amir Fatah beserta kelompoknya melakukan penyerangan terhadap TNI dan beberapa desa, seperti Desa Rokeh Djati dan Pagerbarang.