Penulis
Para ahli punya perbedaan pendapat tentang letak Kerajaan Sriwijaya. Tapi mereka sepakat: kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim besar.
Intisari-Online.com -Kerajaan Sriwijaya dipercaya sebagai kerajaan maritim terbesar di Indonesia.
Pertanyaan yang banyak keluar terkait kerajaan di Sumatera ini adalah ... di mana letak Kerajaan Srijaya?
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan, karena beberapa sejarawan dan arkeolog punya pendapat berbeda terkait letak kerajaan yang pernah diserbu Kerajaan Chola dari India itu.
Sebelum mencari tahu letak Kerajaan Sriwijaya, baiknya kita tahu lebih dulu riwayat kerajaan ini.
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Budha yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7.
Kerajaan Sriwijaya terletak di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatra Selatan.
(Terkait letak persisnya, masih banyak perbedaan pendapat).
Kerajaan Buddha ini bahkan sempat menjadi simbol kebesaran Sumatera pada masa lampau.
Kebesarannya disebut-sebut dapat mengimbangi Kerajaan Majapahit di timur.
Berdirinya Kerajaan Sriwijaya Kerajaan Sriwijaya lahir pada abad ke-7 Masehi dengan pendirinya yang bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Keterangan ini tertulis pada salah satu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur, Mendo Barat, Bangka.
Namun, kisah pendirian kerajaan ini merupakan salah satu bagian yang sulit dipecahkan oleh peneliti.
Sebab dalam sumber-sumber yang ditemukan tidak ada struktur genealogis yang tersusun rapi antar raja Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) menyebutkan nama Dapunta Hyang, dan prasasti Talang Tuo (684 Masehi) memperjelasnya menjadi Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Kedua prasasti ini adalah penjelasan tertua mengenai seseorang yang dianggap sebagai raja atau pemimpin Sriwijaya.
Dalam Prasasti Kedukan Bukit juga menceritakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan perjalanan dengan memimpin 20 ribu tentara dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
Dalam perjalanan tersebut, Dapunta Hyang berhasil menaklukkan daerah-daerah yang strategis untuk perdagangan sehingga Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur.
Berdasarkan prasasti Kota (686 M) di Pulau Bangka, Sriwijaya diperkirakan telah berhasil menguasai Sumatra bagian selatan, Bangka dan Belitung, bahkan sampai ke Lampung.
Bukti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa bahkan mencoba untuk melancarkan ekspedisi militer menyerang Jawa yang dianggap tidak mau berbakti kepada maharaja Sriwijaya.
Peristiwa ini terjadi pada waktu yang kurang lebih bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang bisa saja terjadi karena serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya.
Nah, terkait letaknya, letak pasti kerajaan Sriwijaya masih banyak diperdebatkan.
Namun, pendapat yang cukup populer adalah yang dikemukakan oleh G. Coedes pada tahun 1918 bahwa pusat Sriwijaya ada di Palembang.
Sampai dengan saat ini, Palembang masih dianggap sebagai pusat Sriwijaya.
Beberapa ahli berkesimpulan bahwa Sriwijaya yang bercorak maritim memiliki kebiasaan untuk berpindah-pindah pusat kekuasaan.
Sebab para ahli ada yang menyimpulkan bahwa Sriwijaya berpusat di Kedah, kemudian Muara Takus, hingga menyebut kota Jambi.
Raja Balaputradewa dianggap sebagai raja yang membawa Sriwijaya ke puncak kegemilangannya pada abad ke-8 dan 9.
Namun pada dasarnya, kerajaan ini mengalami masa kekuasaan yang gemilang sampai ke generasi Sri Marawijaya.
Hal ini disebabkan raja-raja setelah Sri Marawijaya sudah disibukkan dengan peperangan melawan Jawa pada 922 M dan 1016 M.
Dilanjutkan dengan melawan Kerajaan Cola (India) pada tahun 1017 hingga 1025 Raja Sri Sanggramawijaya berhasil ditawan.
Pada masa kekuasaan Balaputradewa sampai dengan Sri Marawijaya, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan antara India dan Cina.
Selain itu, seperti yang dilansir dari buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara karya Deni Prasetyo, mereka berhasil memperluas kekuasaannya hingga Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan.
Untuk menjaga keamanan itu, Sriwijaya membangun armada laut yang kuat.
Sehingga kapal-kapal asing yang ingin berdagang di Sriwijaya merasa aman dari gangguan perompak.
Hingga lambat laun, Sriwijaya berkembang menjadi negara maritim yang kuat.
Kebesaran Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran sejak abad ke-11.
Berawal dari serangan besar-besaran yang dilakukan oleh Raja Rajendra Coladewa dari kerajaan Cola yang berhasil menawan salah satu raja Sriwijaya tersebut.
Lalu pada abad ke-13, salah satu kerajaan taklukan Sriwijaya, Kerajaan Malayu, berhasil dikuasai Singasari, kerajaan dari Jawa yang dipimpin oleh Kertanegara.
Melalui Ekspedisi Pamalayu, Kertanegara berhasil menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Malayu.
Sementara itu, Kerajaan Sriwijaya mulai lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah negara taklukannya menjalin hubungan dengan negara saingan di Jawa.
Hingga kelemahan ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Sukhodaya dari Thailand di bawah Raja Kamheng.
Wilayah Sriwijaya di Semenanjung Malaysia berhasil direbut sehingga Selat Malaka bisa dikontrol.
Akhir abad ke-14, Sriwijaya benar-benar runtuh akibat serangan Kerajaan Majapahit dari Jawa.
Letak Kerajaan Sriwijaya
Seperti disebut di awal, banyak pendapat terkait di mana letak kerajaan Sriwijaya--letak di sini artinya menunjuk ke ibu kota kerajaan.
Mengacu Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi.
Teori Palembang ini pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin.
Tempat lain yang disebut sebagai letak Kerajaan Sriwijaya adalahMuaro Jambi di tepi Sungai Batang Hari, Jambi, dan Muara Takus, pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri di Riau.
Pierre-Yves Manguin melalui observasi pada 1993 menyimpulkan, pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking di Sumatera Selatan sekarang.
Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia.
Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Sebelumnya arkeolog Soekmono punya pendapat:pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi yang masuk Provinsi Jambi sekarang.
Moens berpendapatletak dari pusat Kedatuan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus, Riau sekarang, dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing.
Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens.
Menurutnya, Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri.
Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu".
Sementara saat ditaklukkan Kerajaan Cola dari India,berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram, sekarang Kedah, Malaysia.
Pada 2013 lalu, penelitianarkeologi Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi.
Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.
Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10.
Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat Kedatuan Sriwijaya.
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu.
Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya.
Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarawan Thailand, meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.
Itulah perbedaan pendapat terkait letak Kerajaan Sriwijaya.