Penulis
Sebagian masyarakat percaya bahwa makan Raden Kian Santang, putra Prabu Siliwangi, berada di Gunung Karacak, Kota Garut, Jawa Barat.
Intisari-Online.com -Meski bukan penerus takhta Kerajaan Pajajaran, Raden Kian Santang termasuk putra Prabu Siliwangi paling populer.
Kepopulerannya bahkan diangkat menjadi sebuah lakon di layar perak televisi.
Raden Kian Santang adalah putraSri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwingai dari pernikahannya dengan Nyai Subang Larang.
Saat dewasa, Raden Kian Santangbelajar agama Islam di Mekkah dan mengubah namanya menjadi Galantrang Setra.
Raden Kian Santang punya dua saudara kandung, yaituWalangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (pendiri Kerajaan Cirebon) dan Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati).
Sejak kecil hingga remaja, Kian Santang dilatih ilmu bela diri hingga tumbuh menjadi sosok ksatria Pajajaran.
Kehebatannya tentu membuat bangga sang ayah, Prabu Siliwangi, yang mengangkatnya sebagai Senopati Pajajaran.
Kian Santang pun tumbuh menjadi ksatria yang gagah perkasa dan tidak ada yang bisa mengalahkannya.
Ketika hidup di istana Kian Santang adalah pemuda yang serba berkecukupan.
Meski begitu, dia merasa kurang mengenal jati dirinya sendiri, dia juga merasa jenuh karena tidak ada yang bisa mengalahkannya.
Hingga suatu ketika, menurut cerita, Kian Santang mendatangi seorangperamal untuk mengetahui lawan tangguh yang dapat menandinginya.
Peramal itu bilang, orang yang bisa menandinginya adalahSayyidina Ali dari Tanah Arab.
Ali bin Abi Thalib sendiri adalah sahabat Nabi Muhammad yang hidup pada abad 7 Masehi.
Tapi konon, Kian Santang dan Sayyidina Ali bertemu secara gaib.
Untuk bertemu Sayyidina Ali, Kian Santang harus memenuhi dua syarat:melakukan semedi di ujung kulon dan mengganti namanya menjadi Galantrang Setra.
Setelah melakoni dua syarat tersebut, Kian Santang segera melakukan perjalanan ke Arab untuk menemui Sayyidina Ali.
Sesampainya di Mekkah, dia bertemu seseorang dan kemudian menayakan keberadaan Sayyidina Ali.
Orang tersebut mau memberi tahu keberadaan Sayyidina Ali, asalkan Kian Santang mau mengambil tongkatnya yang ditancapkan di tanah.
Tidak disangka, Kian Santang kesulitan mencabut tongkat itu hingga keluar darah dari seluruh tubuhnya ketika berupaya untuk menyelesaikan tugas yang dianggap sangat mudah.
Belakangan diketahui, sosok yang menancapkan tongkat itu adalah Sayyidina Ali.
Setelah pertemuannya dengan Sayyidina Ali, Kian Santang memutuskan untuk menetap di Mekkah dan berlajar agama Islam di sana.
Kian Santang menetap cukup lama guna belajar dan memahami agama Islam.
Setelah itu, dia memutuskan untuk kembali ke Pajajaran.
Sesampainya di Pajajaran, dia menemui sang ayah dan kerabatnya untuk menceritakan pengalamannya selama mengembara ke Tanah Arab.
Kian Santang kemudian mengajak Prabu Siliwangi untuk memeluk Islam, begitu juga dengan rakyat Pajajaran, tetapi ditolak.
Meski ajakannya ditolak oleh Prabu Siliwangi, Raden Kian Santang tetap menyebarkan agama Islam di pelosok Pasundan.
Pada awalnya, dia menyebarkan agama Islam di Limbangan, kemudian sampai ke Garut dan pesisir utara Pantai Jawa.
Dalam perjalanannya, Kian Santang mengubah namanya menjadi Syekh Sunan Rohmat Suci.
Dia pun pergi ke Galuh dan berhasil mengislamkan Raja Galuh Pakuwon di Limbangan, yang dikenal memiliki nama Sunan Pancer.
Berkat Sunan Pancer, agama Islam bisa tersebar luas dan berkembang di daerah Galuh Pakuwon.
Sejak penguasa lokal banyak yang menjadi umat Muslim, ajaran Islam menjadi berkembang di hampir seluruh wilayah Priangan.
Setelah berhasil mengislamkan hampir seluruh Priangan, Raden Kian Santang memilih menetap di daerah sekitar Garut.
Di tempat itulah, ia menyebarkan agama Islam dan menjadi guru syariat hingga akhir hayatnya.
Tidak diketahui kapan Raden Kian Santang meninggal, tetapi masyarakat lokal menyakini makamnya terletak di lereng Gunung Karacak, yang berada di Kecamatan Karangpawitan, Kota Garut.