Sosok Presiden Soeharto di Balik Kirab Pusaka Malam 1 Suro, Tradisi Baru Keraton Mataram Surakarta

Afif Khoirul M

Penulis

Kisah Presiden Soeharto di balik kirab pusaka keraton Surakarta.

Intisari-online.com - Malam 1 Suro adalah malam yang sakral bagi masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan Keraton Mataram Surakarta.

Malam ini menandai pergantian tahun dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan tahun baru Islam.

Pada malam ini, Keraton Mataram Surakarta menggelar kirab pusaka, yaitu prosesi mengarak beberapa pusaka keraton termasuk kerbau bule atau kebo bule yang dikeramatkan.

Kirab pusaka ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan doa untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Namun, tahukah Anda bahwa kirab pusaka ini ternyata belum lama dilakukan?

Artinya, tradisi ini belum ada pada masa Sultan Agung, pencetus penanggalan Jawa.

Lalu, siapa yang memulai tradisi ini dan kapan?

Sejarah Kirab Pusaka

Menurut Tunjung W Sutirto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS), tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru terjadi pada tahun 1974.

Ketika itu, Presiden Soeharto meminta kepada Paku Buwono XII untuk melakukan kirab pusaka dengan tujuan agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana.

Soeharto sendiri memiliki hubungan dekat dengan Keraton Surakarta karena ia merupakan keturunan dari Mangkunegara IV, salah satu raja dari Pura Mangkunegaran yang merupakan cabang dari Keraton Surakarta.

Baca Juga: Diyakini Sebagai Kerajaan Pertama Di Jawa Timur, Inilah Riwayat Kerajaan Kanjuruhan, Vasal Mataram Kuno Yang Makmur

Soeharto juga pernah menjadi cucuk lampah atau pemimpin kirab pusaka pada tahun 1978.

Sejak saat itu, kirab pusaka menjadi tradisi rutin yang dilakukan setiap malam 1 Suro oleh Keraton Surakarta.

Kirab pusaka ini biasanya dimulai pukul 23.00 WIB dan berlangsung selama sekitar dua jam.

Rute kirab meliputi beberapa jalan utama di kota Solo, seperti Jl. Pakoe Boewono, Jl. Jend. Sudirman, Jl. Mayor Kusmanto, Jl. Kapten Mulyadi, Jl. Veteran, Jl. Yos Sudarso, dan Jl. Brigjend Slamet Riyadi.

Makna dan Simbolisme Kirab Pusaka

Kirab pusaka memiliki makna dan simbolisme yang mendalam bagi masyarakat Jawa.

Kirab pusaka merupakan salah satu bentuk laku spiritual untuk menyambut tahun baru Jawa dengan refleksi diri atau mengingat kembali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat selama satu tahun yang telah dilewati.

Dengan demikian, diharapkan pada lembaran baru ini dapat berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kirab pusaka juga merupakan wujud penghormatan kepada leluhur dan doa untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Pusaka-pusaka yang diarak merupakan warisan dari para raja-raja Mataram yang memiliki nilai sejarah dan kekuatan magis.

Pusaka-pusaka tersebut antara lain adalah tombak Kyai Ageng Plered, keris Kyai Naga Siluman, keris Kyai Naga Runting, keris Kyai Brojol, keris Kyai Gandring, keris Kyai Setan Kober, keris Kyai Baru Klinting, keris Kyai Sabuk Inten, keris Kyai Nogo Esti Kinasih, dan keris Kyai Jalak Sangu Tumpeng.

Baca Juga: Jawa Timur Primadonanya, Daerah-daerah Ini Disebut Sebagai Tempat Asal Selir Raja-raja Mataram Islam

Salah satu pusaka yang paling menarik perhatian adalah kebo bule atau kerbau bule yang berjumlah enam ekor.

Kebo bule ini merupakan keturunan dari Kebo Kyai Slamet, sebuah pusaka yang diberikan oleh Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II pada abad ke-18.

Kebo bule ini diyakini memiliki keistimewaan dan kekuatan gaib yang dapat melindungi Keraton Surakarta dari segala mara bahaya.

Semua peserta kirab menggunakan pakaian warna hitam sebagai simbol kesedihan dan penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan.

Pakaian hitam juga melambangkan kekosongan diri yang siap menerima hal-hal baru yang lebih baik.

Selama prosesi kirab berlangsung, tidak satupun peserta kirab mengucapkan satu patah kata, hal tersebut memiliki makna perenungan diri terhadap apa yang sudah dilakukan selama setahun ke belakang.

Kirab Pusaka, Tradisi yang Tetap Lestari

Kirab pusaka merupakan salah satu tradisi Jawa yang tetap lestari hingga saat ini.

Kirab pusaka menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih menghargai dan menjaga warisan budaya dari para leluhur.

Kirab pusaka juga menjadi salah satu daya tarik wisata bagi masyarakat luas yang ingin menyaksikan kekayaan dan keindahan budaya Jawa.

Kirab pusaka juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara Keraton Surakarta dengan masyarakat sekitarnya.

Baca Juga: Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno Telah Memiliki Sikap Toleransi Tinggi, Ini Buktinya

Dalam kirab pusaka, tidak hanya terlibat abdi dalem keraton, tetapi juga masyarakat umum yang ingin ikut berpartisipasi.

Kirab pusaka juga menjadi ajang silaturahmi antara Keraton Surakarta dengan Pura Mangkunegaran, yang merupakan cabang dari Keraton Surakarta.

Meskipun kirab pusaka di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran sering dilakukan pada hari yang berbeda, hal tersebut tidak mengurangi makna dan tujuan dari kirab pusaka itu sendiri.

Kirab pusaka di kedua keraton tersebut tetap memiliki kesamaan dalam hal penghormatan kepada leluhur dan doa untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Kirab pusaka adalah tradisi yang patut kita lestarikan dan apresiasi sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Kirab pusaka juga mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, bertaubat, dan berharap menjadi lebih baik di masa depan.

Artikel Terkait