Penulis
Intisari-Online.com -Pulau Lombok memiliki sejarah yang kelam pada akhir abad ke-19.
Saat itu, pulau ini menjadi saksi bisu dari sebuah perang yang berujung pada bunuh diri massal.
Perang Lombok, demikian peristiwa itu disebut, adalah konflik antara Kerajaan Mataram yang berasal dari Bali dengan Suku Sasak, penduduk asli Lombok.
Perang ini dipicu oleh ketidakpuasan Suku Sasak terhadap kebijakan raja Mataram yang mengubah kebijakan bebas upeti menjadi wajib upeti dan memaksa mereka untuk berperang demi kepentingan kerajaan.
Selain itu, raja Mataram juga sering melakukan tindakan sewenang-wenang seperti merampas harta benda, memecat pejabat lokal, dan mengambil anak-anak Sasak untuk dijadikan budak.
Karena merasa tidak tahan lagi, Suku Sasak pun memberontak pada tahun 1891.
Sebuah keputusan yang langsung disambut gembira oleh Belanda yang kemudian ikut campur dalam perang tersebut.
Belanda Berniat Kembalikan Harta Rampasan
Belanda akan menyerahkan kembali ratusan benda bersejarah yang diambil dari Indonesia saat masa penjajahan.
Benda-benda budaya Indonesia yang akan dikembalikan berjumlah 472, termasuk di antaranya permata dari “harta karun Lombok”.
Baca Juga: Temukan Harta Karun Peninggalan Mataram Kuno, Sosok Pekerja Tol Solo-Jogja Mengaku Dapat Wangsit
Sebelumnya, Belanda diminta agar mengembalikan benda-benda itu jika negara asalnya memintanya.
Salah satu koleksi yang akan dikirim kembali ke Indonesia adalah “harta karun Lombok” yang berisi batu permata, batu mulia, emas, dan perak.
Menurut catatan sejarah, harta karun yang beratnya ratusan kilogram itu dirampok oleh tentara kolonial Belanda dari Istana Cakranegara dan desa-desa di sekitarnya setelah Perang Lombok berakhir pada 1894.
“(Ini) kali pertama kami mengembalikan benda-benda yang seharusnya tidak ada di Belanda,” kata Menteri Kebudayaan Belanda Gunay Uslu.
“Tapi kami tidak hanya mengembalikan objek. Kami sebenarnya sedang memasuki periode di mana kami lebih intensif bekerja sama dengan Indonesia dan Sri Lanka,” tambahnya.
Perang Lombok: Kisah Pemberontakan Sasak
Pada akhir abad ke-19, Pulau Lombok mengalami sebuah peristiwa bersejarah yang disebut Perang Lombok. Perang ini dipicu oleh ketidakpuasan Suku Sasak, penduduk asli Lombok, terhadap kekuasaan Kerajaan Mataram yang berasal dari Bali.
Suku Sasak merasa diperlakukan tidak adil oleh raja Mataram, Anak Agung Made Karangasem, yang mengubah kebijakan bebas upeti menjadi wajib upeti dan memaksa mereka untuk berperang demi kepentingan kerajaan.
Tidak hanya itu, raja Mataram juga sering melakukan tindakan sewenang-wenang seperti merampas harta benda, memecat pejabat lokal, dan mengambil anak-anak Sasak untuk dijadikan budak.
Karena merasa tidak tahan lagi, Suku Sasak pun memberontak pada tahun 1891 dengan dipimpin oleh seorang tokoh bernama Guru Bangkol. Mereka menyerang dan membakar rumah-rumah orang-orang Bali di Lombok.
Raja Mataram tidak tinggal diam. Ia mengirim pasukan besar untuk menumpas pemberontakan. Perang antara Sasak dan Mataram pun berkecamuk selama tiga tahun.
Baca Juga: Kisah Kyai Surti dan Dewi Suryawati, Pembawa Harta Karun Mataram Islam dari Pantai Karang Bolong
Namun, perang ini tidak hanya melibatkan dua pihak saja. Belanda, yang saat itu sudah menguasai sebagian besar wilayah Indonesia, juga ikut campur dalam konflik ini.
Belanda melihat peluang untuk menguasai Lombok dengan alasan membantu Suku Sasak yang telah meminta perlindungan kepada mereka sejak 1891.
Pada 1892, Belanda mulai melakukan blokade senjata untuk Mataram. Pada 1894, Belanda mengirim ekspedisi militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.A. Vetter dan Mayor Jenderal Petrus van Ham untuk menyerbu Lombok.
Dengan persenjataan yang lebih canggih dan pasukan yang lebih banyak, Belanda berhasil menghancurkan Istana Cakranegara, pusat pemerintahan Mataram, pada 18 November 1894.
Dalam pertempuran ini, sekitar 2.000 prajurit Mataram tewas, sementara Belanda hanya kehilangan 166 orang.
Perlawanan Mataram berakhir pada 22 November 1894, ketika raja dan pengikutnya melakukan puputan, yaitu bunuh diri massal dengan cara menyerbu musuh tanpa senjata.
Setelah perang inilah, Belanda mengambil alih harta karun Lombok yang terdiri dari emas, perak, dan karya sastra.