Inilah Keuntungan VOC Setelah Berhasil Memecah Belah Mataram Islam Jadi Dua

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Perjanjian Giyanti merugikan bagi Mataram Islam. Sementara bagi VOC, saat memonopoli perdagangan di Jaut Jawa.

Perjanjian Giyanti merugikan bagi Mataram Islam. Sementara bagi VOC, saat memonopoli perdagangan di Jaut Jawa.

Intisari-Online.com -Rugi bagi Mataram Islam, untung bagi VOC.

Begitulah hasil dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 1755.

Perjanjian tersebut secara resmi membangi Mataram Islam menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Di kemudian, dua kerajaan trah Mataram Islam itu pecah lagi, total jenderal ada empat.

Dua nama terakhir adalah Kadipaten Mangkunegaraan dan Pura Pakualaman.

Dari empat kerajaan itu, tiga di antaranya adalah "perbuatan" VOC Belanda.

Alasan utama VOC memecah Mataram adalah untuk mewujudkan monopoli perdagangan di wilayah Pulau Jawa.

Terutama di Pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki pelabuhan penting.

Mataram merupakan negeri yang makmur sebagai penghasil beras dan kayu yang sangat dibutuhkan Belanda saat itu.

Untuk memuluskan kepentingannya di bidang perdagangan, ekonomi, dan politik, Belanda kemudian memecah Mataram.

Dengan memecah kerajaan besar menjadi kelompok-kelompok kecil, maka VOC akan dapat menjaga kekuasaannya dan lebih mudah mengendalikan keturunan Mataram yang telah terpecah.

Perpecahan itu dilakukan VOC untuk memecah kekuatan politik di Mataram serta untuk mempermudah pengawasan.

Hubungan VOC dan Mataram

Salah satu penyebab jatuhnya Kerajaan Mataram Islam adalah campur tangan VOC dalam urusan internal kerajaan.

Pada 1614, VOC yang masih berkantor di Ambon, pernah mengirim utusan kepada Sultan Agung, penguasa Mataram periode 1613-1645, untuk bekerja sama, tetapi ditolak.

VOC mengirim utusan lagi selama beberapa kali, tetapi masih ditolak juga.

Bahkan Sultan Agung, yang sangat membenci VOC, menyerang markasnya di Batavia.

Namun, usaha yang dilakukan hingga dua kali itu selalu gagal hingga Sultan meninggal pada 1645.

Keruntuhan Mataram dimulai setelah Sultan Agung wafat dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Amangkurat I, yang memerintah dari 1646-1677.

Pada masa Amangkurat I inilah, Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC demi memadamkan pemberontakan yang kerap terjadi.

Hubungan tersebut datang dalam bentuk militer dan perdagangan.

Bahkan seiring berjalannya waktu, VOC juga ikut campur dalam masalah internal kerajaan.

Akibatnya, pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, Kesultanan Mataram terus mengalami pergolakan besar.

Mataram terpecah menjadi tiga

Pada masa Amangkurat III (1703-1705), terjadi perselisihan terkait hak sebagai raja Mataram.

Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang merasa berhak atas takhta Mataram, kemudian memberontak kepada Amangkurat III.

Mengetahui adanya konflik ini, VOC kemudian menunggangi perselisihan dan semakin mempengaruhi keraton.

Selain itu, VOC juga memainkan politik pecah belah, yang pada akhirnya mengakibatkan Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta setelah diadakan Perjanjian Giyanti pada 1775.

VOC kembali berperan dalam pecahnya kekuasaan Kasunanan Surakarta menjadi tiga, yaitu melalui Perjanjian Salatiga pada 1757.

Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said mendapat sebagian wilayah Surakarta dan mendirikan Praja Mangkunegaran.

Dengan begitu, Kesultanan Mataram secara praktis telah terbagi tiga, yaitu Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, dan Praja Mangkunegaran.

Artikel Terkait