Penulis
Sejak Amangkurat I menjadi penguasa di Mataram Islam, pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara, termasuk Jepara, kembali dibuka. Persahabatan dengan VOC bermula.
Intisari-Online.com -Tidak ada kompromi dan diplomasi dengan VOC, begitulah posisi Mataram Islam di era Sultan Agung.
Tapi semuanya berubah saat Mataram dipimpin oleh Amangkurat I, putra Sultan Agung.
Tempat bersejarah yang menjadi saksi persahabatan Mataram dan VOC adalah Jepara.
Permulaan 1661, tepatnya 24 Juli 1661, Patra dari Demak mengabarkan tetang dibukanya kembali loji-loji perdagangan yang sempat tutup sekian lama.
Loji-loji itu sebelumnya ditutup oleh para penguasa pesisir.
VOC mendengar kabar itu dan segera membuat laporan kepada Kerajaan Belanda diAmsterdam pada 29 Juli 1661.
Bagaimanapun juga, pembukaan loji-loji itu akan menggairahkan perekonomian di pesisir utara Jawa--dan itu menggembirakan bagi kaum pedagang dari Eropa.
"Dengan demikian (dibukanya kembali loji-loji di kota pelabuhan), penguasa pesisir (termasuk Sunan) rupanya telah mempersiapkan terjalinnya kembali hubungan baik (dengan VOC)," tulis De Graaf.
"Yang juga akan memberi keuntungan bagi dirinya sendiri (termasuk Sunan dan Mataram)."
Sunan menyadari telah terjadi kesalahpahaman pada saat terjadinya penutupan loji di masa lampau.
"Raja menjadi keheranan mendengar bahwa semua orang asing telah diusir dari kerajaannya," tambahnya.
Penutupan loji ternyata sangat berpengaruh bagi perdagangan maritim di pesisir Jawa, lebih lagi Belanda yang memberi keuntungan bagi penjualan komoditas ke Eropa.
De Graaf menyebut Kiai Wirajaya yang menjadi dalang di balik pengusiran VOC dari loji-loji dagangnya.
"Seketika Sunan memerintahkan kepada para Tumenggung untuk menyeretnya (Kiai Wirajaya)," tulis De Graaf.
"Dibawa ke pasar atau lapangan pasar di depan istana, diikat pada tiang."
Wirajaya dijemur di bawah terik matahari selama dua hari akibat perbuatannya.
Sunan Amangkurat I segera memerintahkan bawahannya untuk mengabarkan kepada Belanda agar kembali mengisi loji-loji yang telah lama ditinggalkan.
Sekitar dua tahun berselang, Residen Jepara menjadi Belanda pertama yang mengisi loji tersebut.
David Luton, seorang Residen di Jepara, ditugaskan Sunan untuk mengisi loji dan bekerja untuk Jepara.
Luton juga diutus sekaligus untuk menilik kelayakan loji yang telah ditinggalkan puluhan tahun lamanya.
Menurutnya, loji dalam kondisi rusak parah dan membutuhkan sejumlah perbaikan.
Pada 4 April 1662, berkat perbaikan loji yang dilakukan Mataram, Luton mulai mendiami loji kosong itu.
Nampaknya Luton belum paham betul dengan keputusan Sunan memaksanya untuk tinggal di loji, membuatnya bertahan untuk tidur berhari-hari di sebuah kapal yang bersandar di dermaga.
"Ngabei Martanata menegaskan kepada Luton untuk segera menempati loji, mungkin Sunan akan murka jika loji itu sampai ambruk karena tak juga ditinggali," imbuh De Graaf.
Jelas, kekhawatiran Luton muncul akibat desas-desus penguasa pesisir Jawa tak menginginkan kehadiran Belanda di daratan Jawa.
Namun, perintah Sunan tetap dilakukan Luton, ia mulai mendiami loji yang tetap terlihat bobrok karena belum sepenuhnya diperbaiki.
Berkat perintah Sunan pula, Residen diwajibkan mengirim utusan untuk menempati loji-loji di pesisir Jepara.
Sehingga berjumlah sepuluh orang serdadu VOC yang tinggal disana.
"Sunan menitipkan pesan kepada Tumenggung, untuk memberitakan kabar bahagia, bahwa mereka (orang-orang Belanda) harus merasa senang bahwa seluruh negeri ini terbuka bagi mereka untuk berdagang secara bebas," sambungnya.
Meski begitu, para kompeni dilarang menurunkan dan menempatkan meriam mereka di loji-loji yang telah disediakan raja Mataram.
Pada 17 Agustus 1663, Kartijaya ditugaskan sebagai bupati Jepara oleh Sunan Amangkurat I untuk mengawasi loji-loji yang diisi oleh Belanda.
Kartijaya menemukan bahwa Luton ternyata tak tinggal di loji yang disediakan oleh Sunan.
Dia lebih memilih membeli rumah milik seorang Cina di Jepara.
Residen Luton menjelaskan alasannya, terkait ketakutannya dengan para syahbandar Jepara.
Dia meminta waktu untuk memagari loji, takut sewaktu-waktu diserang.
Namun, Kartijaya menolak memberi waktu, dan meminta secepatnya kembali ke loji.
Memasuki September 1663, Luton agaknya memahami alasan Sunan memaksa orang-orang Belanda segera mengisi loji-loji di kota pelabuhan, lebih khusus Jepara.
Luton diminta setiap tahunnya untuk mengirimkan legasi yang terhormat untuk mengisi loji-loji yang masih kosong.
"Rupanya legasi yang terhormat hanya akan digunakan untuk menaikkan nama dan wibawa Sunan di mata bangsa-bangsa tetangganya, serta mau memperlihatkan ketundukan bangsa Belanda kepada Jawa," ungkap De Graaf.
Bagaimanapun, sikap Sunan Amangkurat I dapat memberikan ketenangan dalam Keraton di tahun-tahun 1663 hingga 1664.
Di satu sisi karena ekonomi Mataram yang kembali pulih, di sisi lain karena hubungan baiknya dengan pihak Belanda.
"Orang-orang Belanda di Jepara juga mengalami masa tenang, kala itu, Jepara dikuasai para penguasa (pesisir Jepara) yang bersahabat dengan mereka," pungkasnya.