Penulis
Candi Muara Jambi, salah satu peninggalan penting kerajaan Sriwijaya di Suamtera. Kerajaan ini ternyata masih punya hubungan dengan Mataram di Jawa.
Intisari-Online.com -Mungkin sebagian besar kita belum tahu bahwa Kerajaan Sriwijaya yang ada di Sumatera masih punya hubungan darah dengan Mataram Kuno yang ada Jawa.
Hubungan itu tersambung dalam sosok Sri Maharaja Balaputradewa atau yang kita kenal sebagai Balaputradewa.
Balaputradewa disebut merupakan anak dari salah seorang raja Kerajaan Medang, atau Mataram Kuno, bernamaSamaragrawira atau yang lebih dikenal sebagai Rakai Warak.
Meski begitu, terkait berdirinya Sriwijaya tak ada hubungannya dnegan Mataram Jawa.
Sriwijaya kemudian menjalin kerjasama politik lewat jalur pernikahan.
Hasil pernikahan itu termanifestasi dalam wujud Balaputradewa.
Mengacu pada prasasti Nalanda,Balaputradewa merupakan cucu raja Jawa yang bergelar Wirawairimathana alias penumpas musuh perwira.
Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak.
Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma.
Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India.
Persahabatan itu ditandai dengan pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.
Sementara menurutDe Casparis, Samaragrawira identik dengan Samaratungga Raja Medang.
Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, Balaputradewa melawan Pramodawardhani.
Pada 856 Balaputradewa yang dikalahkan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodawardhani, menyingkir ke pulau Sumatra.
Apa yang disampaikan oleh De Casparis itu dibantah olehSlamet Muljana.
Menurutnya, mengacu pada prasasti malang, Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani.
Menurutnya, Balaputradewa lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga.
Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya.
Pengusiran Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi perang antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan melawan seorang musuh yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu.
Dalam prasasti itu ditemukan istilah Walaputra yang dianggap identik dengan Balaputradewa.
Tapi teori tersebut dibantaholeh Pusponegoro dan Notosutanto.
Kedunaya mengatakan, istilah Walaputra bukan identik dengan Balaputradewa.
Istilah Walaputra justru bermakna "putra bungsu",yaitu Rakai Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan.
Adapun Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya.
Tapiprasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak ada yang menyebut nama Balaputradewa, tapi Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.
Artinya, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi sang Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa.
Tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai keturunan pendiri Kerajaan Medang.
Jadi sangat mungkin apabila ia memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya.
Terlepas dari apa pun yang berkembang, Balaputradewa punya darah Mataram Jawa.
Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa.
Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.
Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya yang bernama Sri Dharmasetu.
Namun, ternyata nama Sri Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi menjaga bangunan Candi Kelurak.
Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara.
Dharmasetu menurut prasasti Kelurak adalah orang Jawa.
Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah keliru.
Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa Sailendra.
Sama halnya dengan pulau Jawa.
Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak zaman Maharaja Wisnu.
Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di Sumatera, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.
Begitulah ikatan darah antara Sriwijaya dan Mataram Kuno.