Penulis
Intisari-online.com - Sosok Nero adalah penguasa terakhir dari dinasti Julio-Claudian, yang memerintah dari tahun 54 sampai 68 M.
Ia diangkat sebagai ahli waris oleh pamannya, kaisar Claudius, yang meninggal secara misterius pada tahun 54 M.
Ia dituduh membunuh banyak orang, termasuk ibunya sendiri, Agrippina Muda, yang merupakan cicit dari kaisar Augustus.
Ia juga dituduh membakar Roma pada tahun 64 M, dan menganiaya orang-orang Kristen sebagai kambing hitam.
Namun, ia juga memiliki minat pada seni, musik, teater, dan olahraga, dan sering tampil di depan umum sebagai seniman.
Artikel ini akan mengulas kehidupan dan kematian Nero, serta misteri dan kontroversi yang mengitarinya.
Nero lahir pada tanggal 15 Desember 37 M di Antium, Italia, dengan nama Lucius Domitius Ahenobarbus.
Ayahnya adalah Gnaeus Domitius Ahenobarbus, seorang bangsawan Romawi yang meninggal saat Nero berusia dua tahun.
Ibunya adalah Agrippina Muda, seorang wanita ambisius yang menikah lagi dengan pamannya sendiri, kaisar Claudius, pada tahun 49 M, dan membujuknya untuk menjadikan Nero sebagai penerusnya, mengalahkan hak putra Claudius sendiri, Britannicus.
Agrippina juga mengatur pernikahan Nero dengan putri Claudius, Octavia, pada tahun 53 M.
Agrippina sangat berpengaruh dalam kehidupan Nero. Ia membantu membunuh istri Claudius sebelumnya, Valeria Messalina, pada tahun 48 M, dan kemungkinan besar juga membunuh Claudius sendiri pada tahun 54 M.
Ia juga menyingkirkan para penasihat istana Claudius yang menentangnya, termasuk Narcissus.
Nero berharap dapat mengendalikan pemerintahan melalui Nero, yang menjadi kaisar pada usia 16 tahun dengan dukungan dari Pengawal Praetorian dan Senat.
Namun, rencana Agrippina tidak berjalan mulus.
Nero mulai menunjukkan ketertarikan pada bidang-bidang yang tidak disukai oleh ibunya, seperti seni, musik, teater, dan olahraga.
Ia juga jatuh cinta dengan seorang wanita bernama Poppaea Sabina, yang menuntutnya untuk menceraikan Octavia dan membunuh Agrippina.
Nero pun mulai melepaskan diri dari pengaruh ibunya dengan bantuan dari gurunya, Seneca Muda, seorang filsuf Stoa, dan prefeknya, Sextus Afranius Burrus.
Ia akhirnya berhasil membunuh ibunya pada tahun 59 M dengan cara yang sangat dramatis: ia menyewa sebuah kapal yang dirancang untuk tenggelam saat berlayar dan mengundang ibunya untuk naik ke kapal itu.
Namun Agrippina selamat dari kecelakaan itu dan berhasil mencapai pantai.
Nero kemudian mengirim pembunuh untuk menyelesaikan pekerjaannya dan mengklaim bahwa ibunya berencana untuk membunuhnya.
Setelah kematian ibunya, Nero semakin bebas dalam menjalankan pemerintahannya sesuai dengan keinginannya.
Ia membangun istana-istana mewah dan monumen-monumen besar untuk memuaskan kesenangannya.
Ia juga sering tampil di depan publik sebagai aktor, penyair, musisi, dan pembalap kereta kuda.
Hal-hal ini menimbulkan kemarahan dan kekecewaan di kalangan aristokrasi Romawi, yang menganggap Nero telah menodai martabat kekaisaran.
Nero juga mengeluarkan biaya yang besar untuk menyelenggarakan pesta-pesta, permainan-permainan, dan pertunjukan-pertunjukan untuk menyenangkan rakyat jelata.
Biaya-biaya ini dibebankan kepada para elit lokal, baik secara langsung maupun melalui pajak, dan sangat dibenci oleh mereka.
Nero juga terlibat dalam berbagai pembunuhan politik selama masa pemerintahannya.
Ia membunuh Britannicus pada tahun 55 M, Octavia pada tahun 62 M, dan Poppaea pada tahun 65 M.
Ia juga membunuh atau memaksa bunuh diri banyak senator, gubernur, dan jenderal yang menentang atau mencurigakan dirinya.
Salah satu korban terkenalnya adalah Corbulo, seorang jenderal yang berhasil menegosiasikan perdamaian dengan Parthia pada tahun 63 M.
Nero memerintahkan Corbulo untuk bunuh diri tanpa alasan yang jelas.
Nero juga dituduh sebagai penyebab kebakaran besar di Roma pada tahun 64 M, yang menghancurkan sebagian besar kota itu.
Menurut sejarawan Tacitus, Nero sedang berada di Antium saat kebakaran terjadi, tetapi ia kembali ke Roma untuk mengatur bantuan dan rekonstruksi.
Namun, banyak orang yang percaya bahwa Nero sengaja membakar kota itu untuk membuat ruang bagi istana barunya, yang disebut Domus Aurea (Rumah Emas).
Ada juga rumor bahwa Nero menyanyikan lagu tentang kehancuran Troya sambil memainkan kecapi saat kota itu terbakar.
Untuk mengalihkan tuduhan dari dirinya, Nero menyalahkan orang-orang Kristen sebagai biang keladi kebakaran dan memerintahkan penganiayaan terhadap mereka.
Banyak orang Kristen yang disiksa dan dibunuh dengan cara-cara yang mengerikan, seperti dibakar hidup-hidup, disalibkan, atau dilemparkan ke binatang buas.
Kebijakan-kebijakan Nero yang semena-mena dan sewenang-wenang akhirnya menimbulkan pemberontakan di berbagai provinsi Romawi.
Pada tahun 68 M, seorang senator bernama Vindex memberontak di Galia dengan dukungan dari Galba, seorang gubernur di Hispania.
Mereka menyatakan bahwa Nero bukan lagi kaisar Romawi dan mengajak para gubernur lainnya untuk bergabung dengan mereka.
Meskipun Vindex dikalahkan oleh pasukan setia Nero yang dipimpin oleh Verginius Rufus, pemberontakan ini memicu gelombang protes di seluruh kerajaan.
Galba menyatakan dirinya sebagai kaisar baru dan mendapatkan dukungan dari banyak pasukan militer.
Nero merasa terancam oleh pemberontakan ini dan mencoba mendapatkan dukungan dari Senat dan Pengawal Praetorian.
Namun, ia mendapati bahwa kedua lembaga itu telah meninggalkannya dan menyatakan bahwa ia adalah musuh negara.
Ia pun melarikan diri dari istananya dan mencari tempat perlindungan di luar kota.
Ia berencana untuk melarikan diri ke timur, tetapi ia tidak memiliki kapal atau uang untuk melakukannya.
Akhirnya sampai di sebuah vila milik seorang budak bebas bernama Phaon, di mana ia memutuskan untuk bunuh diri sebelum ditangkap oleh musuh-musuhnya.
Nero sangat ketakutan untuk membunuh dirinya sendiri. Ia memohon kepada salah satu pelayannya untuk menunjukkan contoh cara bunuh diri dengan menusuk lehernya sendiri.
Namun, pelayan itu menolak. Nero kemudian mendengar suara pasukan berkuda yang mendekat. Ia takut akan disiksa atau dieksekusi secara hina oleh mereka.
Ia pun mengambil pisau dan menusuk lehernya sendiri dengan bantuan sekretarisnya, Epaphroditus. Sebelum ia mati, ia mengucapkan kata-kata terakhirnya: "Apa seni yang hilang bersamaku!"