Penulis
Intisari-online.com - Hari Raya Waisak adalah hari suci agama Buddha yang dirayakan setiap tahun pada bulan purnama di bulan Mei.
Waisak berasal dari kata Sansekerta Waisakha, yang merujuk pada nama bulan dalam kalender India kuno.
Hari Raya Waisak juga dikenal sebagai Hari Buddha, karena pada hari ini terjadi tiga peristiwa penting dalam kehidupan Sang Buddha, yaitu kelahiran, pencerahan, dan kematian.
Ketiga peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak, yang merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan agama Buddha di dunia.
Artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang makna dan latar belakang dari Trisuci Waisak, serta bagaimana umat Buddha merayakannya di Indonesia dan negara-negara lain.
Kelahiran Pangeran Siddharta
Pangeran Siddharta merupakan anak seorang raja dari kerajaan Sakya di India Utara, yaitu Raja Suddhodana dan Ratu Maya.
Ia lahir di Taman Lumbini pada tahun 623 SM.
Menurut legenda, ia lahir dengan kondisi bersih tanpa noda, bisa berdiri tegak, serta langsung bisa berjalan tujuh langkah ke arah utara sambil mengucapkan kata-kata bijak.
Kelahirannya juga disertai dengan munculnya berbagai tanda-tanda alam yang mengagumkan, seperti bunga-bunga mekar dan hujan bunga.
Saat masih bayi, Pangeran Siddharta diramalkan oleh seorang pertapa bernama Asita bahwa ia akan menjadi seorang penguasa dunia atau seorang Buddha.
Baca Juga: 15 Ucapan Hari Waisak 2023 Sesuai dengan Tema Waisak 2567 BE
Raja Suddhodana ingin anaknya mengikuti jejaknya sebagai raja, sehingga ia membesarkan Siddharta dengan segala kemewahan dan kesenangan dunia.
Ia juga menjaga agar Siddharta tidak melihat penderitaan manusia seperti sakit, tua, mati, dan mayat.
Pencerahan Sang Buddha
Namun lama kelamaan Siddharta merasa jenuh dengan kehidupannya yang mewah dan hampa.
Ia mulai merenungkan makna hidup dan mencari kebenaran sejati.
Pada usia 29 tahun, ia meninggalkan istana dan keluarganya secara diam-diam untuk menjadi seorang pertapa.
Ia berguru kepada beberapa guru spiritual dan belajar berbagai macam ajaran dan praktik meditasi.
Juga melakukan pertapaan keras dengan menyiksa tubuhnya hingga kurus kering.
Namun semua usahanya itu tidak membawa ia kepada pencerahan yang ia cari.
Ia kemudian menyadari bahwa jalan tengah antara kemewahan dan penyiksaan adalah jalan yang terbaik.
Kemudian mulai makan kembali dan memperkuat tubuhnya. Suatu hari ia sampai di suatu tempat bernama Gaya.
Di sana ia bersemedi di bawah pohon bodhi (pohon ara) dengan tekad untuk tidak bangun sampai ia mencapai pencerahan.
Saat bersemedi, ia harus menghadapi godaan-godaan dari raja setan yang bernama Mara.
Mara mencoba menggoyahkan tekad Siddharta dengan menyerangnya dengan pasukan setan, menawarkan kekayaan dan kekuasaan dunia, serta menggoda dengan putri-putrinya yang cantik.
Namun Siddharta tidak terpengaruh oleh godaan-godaan itu. Ia tetap tenang dan fokus pada meditasinya.
Akhirnya pada malam bulan purnama di bulan Vesakha (Mei), Siddharta mencapai penerangan agung dan menjadi seorang Buddha, yang berarti orang yang sadar atau terbangun.
Ia memahami empat kebenaran mulia, yaitu kebenaran tentang penderitaan, penyebab penderitaan, pembebasan dari penderitaan, dan jalan menuju pembebasan dari penderitaan.
Dia juga memahami hukum sebab akibat atau karma, serta siklus kelahiran kembali atau samsara². Ia berusia 35 tahun saat itu.
Kematian Sang Buddha
Setelah mencapai pencerahan, Sang Buddha mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang yang mau mendengarkan.
Ia membentuk sebuah komunitas para pengikutnya yang disebut Sangha, yang terdiri dari para biksu (bhikkhu), biksuni (bhikkhuni), awam laki-laki (upasaka), dan awam perempuan (upasika)
Dia mengajarkan jalan tengah, welas asih, kebijaksanaan, moralitas, meditasi, dan pencerahan². Ia juga melakukan berbagai mukjizat untuk menunjukkan kekuatan spiritualnya.
Selama 45 tahun, Sang Buddha berkelana di India Utara untuk menyampaikan Dhamma (ajaran) kepada berbagai macam orang, dari raja-raja, bangsawan, brahmana, pendeta, petani, hingga penjahat.
Dia juga menghadapi berbagai tantangan dan konflik dari orang-orang yang iri atau tidak setuju dengan ajarannya.
Namun ia selalu bersikap sabar, lembut, dan bijaksana dalam menghadapi segala situasi.
Pada usia 80 tahun, Sang Buddha merasakan bahwa ajalnya sudah dekat.
Kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan terakhirnya ke Kusinara, sebuah kota kecil di India Utara.
Diasana ia memberikan nasihat terakhirnya kepada para pengikutnya. Ia mengingatkan mereka untuk selalu menjaga Dhamma dan Sangha sebagai pedoman hidup mereka.
Ia juga mengajak mereka untuk berusaha keras mencapai pencerahan dengan kata-kata terakhirnya: "Segala sesuatu yang ada pasti lenyap. Berusahalah dengan tekun!"
Kemudian Sang Buddha memasuki meditasi terakhirnya dan mencapai parinibbana (kematian sempurna) tanpa meninggalkan sisa apapun.
Tubuhnya kemudian dibakar oleh para pengikutnya dengan upacara penghormatan yang besar.
Abu dan relik-reliknya kemudian dibagi menjadi delapan bagian dan disimpan dalam stupa-stupa (monumen suci) di berbagai tempat.