Penulis
Intisari-Online.com -Warga kota Jakarta pada hari ini mungkin sulit membayangkan bahwa di masa lalu, tepat di depan Museum Bahari, Penjaringan, Jakarta Utara, merupakan sebuah kawasan perairan tempat merapatnya kapal-kapal dagang dan menurun muatan.
Kapal-kapal dari berbagai penjuru Nusantara itu membawa berbagai hasil bumi untuk dimasukkan ke Gudang Rempah, dipersiapkan, kemudian diperdagangkan sampai jauh ke Eropa.
Karena menjadi tempat penampungan berbagai hasil bumi, bangunan utama yang kini menjadi museum kemudian dikenal juga sebagai Westzijdsche Pakhuizen (Gudang Sisi Barat). Gudang ini seolah pasangan dari Oosjzijdsch Pakhuizen (Gudang Sisi Timur), di Jalan Tongkol, Jakarta Pusat, yang sayang kondisinya kini memprihatinkan.
Situasi sekitar kawasan Pasar Ikan pada hari ini memang sudah jauh berbeda. Area depan museum kini sudah terdapat akses jalan beton. Pulau kecil beberapa meter pantai, sudah menjadi pasar dan pemukiman warga. Bahkan bangunan museum yang dibangun bertahap sejak 1652 hingga 1774 itu sudah “tenggelam” sekitar 1 meter akibat penurunan tanah.
Kawasan Pasar Ikan yang menjadi saksi ramainya perdagangan VOC di masa silam, pada Minggu (28/5) disambangi komunitas Sahabat Museum yang kali ini bekerja sama dengan Majalah Intisari. Acara bertajuk Plesiran Tempo Doeloe ini diikuti 44 peserta, sebuah animo yang cukup baik, mengingat Sahabat Museum sempat vakum tiga tahun di masa Pandemi.
Acara plesiran diisi penelusuran yang berawal dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Menara Syahbandar, Tembok Kota Batavia, dan berakhir di Museum Bahari. Dalam perjalanan sekitar 3,5 jam itu, peserta mendapat berbagai penjelasan dari Ade Purnama dari Sahabat Museum serta Nadia Purwestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur.
Dalam pemaparannya, Ade Purnama menjelaskan arti penting kawasan ini karena menjadi cikal bakal koloniasi Belanda yang diawali oleh kejayaan VOC. Gudang-gudang di kawasan ini juga menjadi tempat penyimpanan berbagai komoditas yang kala itu diperdagangkan secara internasional, seperti teh, kopi, gula, kina, dan tembakau.
“Dari perjalanan ini kita akan lebih bijak mengenal kota kita, sejarah kita. Dengan mengenal kita memiliki rasa memiliki dan mencintai kota Jakarta serta sejarah Indonesia pada umumnya,” kata Ade yang mendirikan komunitas Sahabat Museum pada 2002.
Bukan cuma sejarah kota, secara lebih spesifik, peserta juga mendapat penjelasan tentang arsitektur dengan mengamati detail bangunan Gudang Barat dari dekat. Bangunan terbukti masih berdiri kokoh hingga 300 tahun kemudian meski dibangun dengan teknologi konstruksi zaman dahulu yang belum mengenal besi dan beton.
Bangunan berdiri dengan mengandalkan dinding bata berlapis pasir dan batu kapur. Sebagai penyangga, digunakan kayu-kayu jati utuh sepanjang 4 meter yang hingga kini masih tampak utuh dan kuat.
Menariknya, ungkap Nadia Purwestri, gudang-gudang di Batavia ini sekaligus prototipe gudang-gudang yang dibangun VOC di Asia dan Timur Jauh. “Bangunan-bangunan ini juga punya kesamaan dengan bangunan di Amsterdam, karena dibangun di cerucuk-cerucuk kayu akibat tanah yang cenderung berair,” tuturnya.
Plesiran Tempo Doeloe di Pasar Ikan ini sekaligus menjadi penanda aktifnya kembali Sahabat Museum, setelah sekian lama terhenti. Menurut Ade, masa vakum tersebut ternyata membawa berkah tersendiri karena ia bisa menyusun berbagai rencana ke depan untuk mengembangkan komunitas ini.
(T. Tjahjo Widyasmoro)