Penulis
Nama resminya Astana Pajimatan Himagiri, tapi orang-orang mengenalnya sebagai makam raja-raja Mataram Islam Imogiri atau Makam Imogiri. Arsiteknya Kyai Tumenggung Citrokusumo.
Intisari-Online.com -Barangkali kita bertanya, siapa sosok di balik arsitektur makam raja-raja Mataram Islam Imogiri?
Nama resminya Astana Pajimatan Himagiri, tapi orang-orang mengenalnya sebagai makam raja-raja Mataram Islam Imogiri atau Makam Imogiri.
Makam Imogiri menjadi tempat peristirahatan terakhir para raja-raja besar Mataram.
Tak heran jika banyak orang mengenalnya sebagai makam para raja.
Walaupun titelnya adalah makam raja-raja Mataram Islam, tetap saja terdapat aura Hindu melingkupinya.
"Pemakaman Raja terletak di bukit yang dapat diakses dengan menaiki ratusan anak tangga," tulis Nindyasti Dilla Hilmaya pada Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 berjudul "Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta" terbitan 2017.
Pemakaman ini dibangun pada tahun 1632, pada masa Sultan Agung.
Arsitek dari Kompleks Makam Imogiri ini adalah Kyai Tumenggung Citrokusumo.
Pada 1629–1640, Sultan Agung membangun Kompleks Makam Girilaya.
Ini adalah kompleks makam yang rencananya dikhususkan bagi raja-raja Mataram.
Dalam hal ini Sultan menunjuk pamannya sendiri, yaitu Panembahan Juminah, putera ke-18 dari Panembahan Senopati untuk melakukan pengawasan dalam pembuatan makam tersebut.
Namun Panembahan Juminah wafat di tengah tugasnya melakukan pengawasan sehingga makam di Girilaya tersebut dijadikan makam untuk Panembahan Juminah.
Dengan demikian, Sultan Agung membangun kompleks makam untuk raja di puncak bukit Imogiri.
Di kompleks pemakaman Imogiri juga menjadi makam para raja besar Mataram Islam hingga pecahnya menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Makam rajanya terdiri dari makam Sultan Agung, Amangkurat IV, Susuhunan Pakubuwana I, hingga Hamengkubuwana IX.
"Adapun sejarah mengenai pemilihan lokasi makam dan pembangunannya yang berkaitan dengan sejarah dalam Kerajaan Mataram Islam," imbuh Nindyasti.
Dalam folklor yang berkembang di masyarakat, "konon, saat Sultan Agung sedang mencari tanah yang akan digunakan untuk tempat pemakaman khusus sultan dan keluarganya, beliau melemparkan segenggam pasir dari Arab," lanjutnya.
Pasir tersebut dilempar jauh hingga akhirnya mendarat di Pajimatan Girirejo dan di situlah tempat yang dipilih sultan untuk membangun makam raja.
Penempatan lokasinya yang terletak diperbukitan juga cenderung mengadopsi kebudayaan Hindu yang menempatkan bukit sebagai tempat suci yang dekat dengan sang pencipta.
Budaya Jawa-Hindu terasa begitu kental terasa di dalam Kompleks Makam Imogiri.
Terlebih dengan suasana magis karena kompleks makam ini dianggap suci dan dikeramatkan atau sakral.
Menurut Nindyasti, "arsitektur makam yang menerapkan gaya arsitektural Jawa seperti candi Hindu, juga membuat suasana makam Islam terlalu minor dibandingkan dengan suasana kental Jawa-Hindu."
Hal itu tidak lepas dari adanya air suci empat tempayan yang didapat dari pengaruh Sriwijaya yang kemudian digunakan Sultan Agung untuk berwudhu.
Begitupun arsitektur Islam yang dapat dilihat dari masjid di sekitar kompleks makam, masih menggunakan konsep joglo yang sederhana, sesuai dengan budaya Jawa.