Penulis
Tari bedhaya ketawang disebut sebagai simbol kisah cinta pendiri Mataram Islam Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul. Penciptanya adalah Sultan Agung.
Intisari-Online.com -Menurut cerita tutur yang beredar, sebelum mendirikan Mataram Islam Panembahan Senopati sempat bertemu dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul.
Selama tiga hari-hari tiga malam Panembahan Senopati mendapat ilmu pemerintahan.
Belakangan, kisah pertemuan antara pendiri Mataram Islam dengan Nyi Roro Kidul itu diabadikan dalam tari bedhaya ketawang.
Setidaknya ada dua versi terkait asal-usul tarian yang merupakan warisa Keraton Kasunanan Surakarta ini.
Aal-usul Tari Bedhaya yang diketahui secara umum adalah kisah cinta Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati.
Tarian ini menjadi warisan Keraton Kasunanan Surakarta karena ketika disepakatinya Perjanjian Giyanti, Bedhaya Ketawang tidak diambil pihak Kasultanan Yogyakarta.
Tari Bedhaya Ketawang berawal dari Sultan Agung (1613-1645) yang memerintah Kesultanan Mataram.
Suatu ketika, Sultan Agung sedang melakukan laku semedi.
Tiba-tiba, ia mendengar suara senandung dari langit.
Sultan Agung terkesima dengan senandung tersebut. Ia kemudian memanggil pengawalnya dan menjelaskan apa yang terjadi.
Dari kejadian itulah, Sultan Agung kemudian menciptakan tarian yang diebri nama Bedhaya Ketawang.
Selain itu, ada versi lain yang menjelaskan bahwa tari Bedhaya Ketawang berawal dari kisah Panembahan Senapati bertemu dan menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Setelah disepakati Perjanjian Giyanti pada 1755, dilakukanlah pembagian warisan Kesultanan Mataram.
Warisan tersebut tak hanya berupa harta benda dan wilayah, melainkan juga budaya.
Tari Bedhaya Ketawang pada akhirnya diberikan kepada Kasunanan Surakarta.
Tari Bedhaya Ketawang digelar ketika upacara penobatan dan peringatan kenaikan takhta Raja Kasunanan Surakarta.
Tari Bedhaya Ketawang secara umum dipahami sebagai hubungan pernikahan antara Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Semua kisah itu diwujudkan dalam gerakan tarian.
Adapun kata-kata yang yerkandung dalam tembang pengiringnya menggambarkan curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senapati.
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap pertunjukan tari Bedhaya Ketawang akan menghadirkan Kanjeng Ratu Kidul yang ikut serta menari.
Biasanya, tari Bedhaya Ketawang akan dimainkan oleh sembilan perempuan.
Sementara itu, menurut kepercayaan Jawa, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir sebagai penari ke-10.
Pelaksaan seni tari Bedhaya Ketawang Sebagai sebuah tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki bagi setiap penari Bedhaya ketawang.
Adapun syarat yang paling utama adalah sang penari harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid.
Apabila sang penari sedang haid, maka harus minta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan Caos Dhahar di Panggung Sanga Buwana, Keraton Kasunanan Surakarta.
Hal itu dilakukan dengan berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan.
Kesucian para penari juga sangat penting dalam mementaskan tari Bedhaya Ketawang.
Ketika pertunjukan berlangsung, tari Bedhaya Ketawang akan diiringi oleh musik Gending Ketawang Gedhe dengan nada pelog.
Sementara itu, instrumennya adalah kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak.
Tari Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga babak.
Di tengah tarian, nada gendhing berganti menjadi slendro selama dua kali.
Setelah itu, nada gendhing kembali lagi ke nada pelog hingga tarian berakhir.
Selain itu, ketika pertunjukan, tarian ini akan diiringi tembang atau lagu yang menggambarkan curahan hati Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja.
Sementara itu, dalam tata busana, para penari akan mengenakan pakaian pengantin perempuan Jawa, yakni dodot ageng atau basahan.
Rambut penari Bedhaya Ketawang akan menggunakan gelung boor mengkurep, yaitu gelungan yang ukurannya lebih besar dari gaya gelungan Yogyakarta.