Dari Bali ke Eropa, Inilah Kisah di Belakang Layar Sosok Dr. Sulianti Saroso

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Sosok inspiratif perempuan Indonesia, Dr. Sulianti Saroso (kanan, bersama suami).

Intisari-online.com - Prof. Dr. Sulianti Saroso adalah salah satu tokoh kedokteran perempuan Indonesia yang berjasa dalam bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular serta program keluarga berencana (KB).

Ia juga dikenal sebagai dokter perempuan pertama di Indonesia yang berani bicara soal pembatasan kelahiran di tengah masyarakat yang masih menganggapnya tabu.

Pada 10 Mei 2023, Google Doodle memperingati hari ulang tahun ke-106 Prof. Dr. Sulianti Saroso dengan menampilkan ilustrasi dirinya yang sedang memeriksa seorang anak dengan stetoskop dan meneliti sesuatu dengan mikroskop.

Siapakah sosok Prof. Dr. Sulianti Saroso dan bagaimana perjalanan kariernya sebagai dokter pejuang kesehatan masyarakat?

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Prof. Dr. Sulianti Saroso lahir pada 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Ia adalah anak kedua dari keluarga Dokter M. Sulaiman, yang menjadi inspirasinya untuk masuk kedokteran di usia muda.

Kecerdasan Sul difasilitasi oleh orang tuanya dengan semaksimal mungkin. Ia menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, yang sebagian besar siswanya kulit putih.

Pada tahun 1935, ia lulus dari Gymnasium Bandung dan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Ia lulus sebagai dokter pada tahun 1942.

Setelah lulus, ia bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat Jakarta yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo.

Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Sulianti turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta.

Perjuangan di Masa Revolusi

Di Yogyakarta, Sulianti yang akrab dipanggil Julie, terjun sebagai dokter perjuangan mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik. Ia juga berperan aktif mencari pengakuan atas kemerdekaan Indonesia di dunia internasional sebagai salah satu delegasi Konferensi Perempuan se-Asia.

Saat pasukan NICA menyerbu dan menduduki Yogyakarta pada Desember 1948, Sulianti termasuk ke dalam daftar panjang para pejuang kemerdekaan yang ditahan sehingga harus meringkuk 2 bulan di tahanan Belanda.

Setelah masa revolusi berakhir, Sulianti bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris.

Penggagas Program Keluarga Berencana

Ketika kembali ke Tanah Air pada tahun 1952, Sulianti bersuara tentang pembatasan jumlah kelahiran.

Namun, ketika itu, pembatasan kelahiran masih menjadi konsep yang tabu di tengah masyarakat Indonesia. Dulu, sejumlah masyarakat memiliki keyakinan bahwa “banyak anak, banyak rezeki”.

Pembatasan kelahiran yang kemudian menjadi program Keluarga Berencana (KB), baru bisa berjalan di masa Orde Baru.

Program tersebut dirancang untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk.

Menurut pemerintah, saat ini, Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah dianggap sebagai program yang berhasil menurunkan angka kelahiran yang bermakna.

Karier Cemerlang di Bidang Kesehatan

Selain menggagas program KB, Sulianti juga memiliki karier cemerlang di bidang kesehatan lainnya. Ia mendapat gelar sarjana public health administration dari Universitas London pada tahun 1957.

Tahun 1961-1965 menjadi research associate di School of Medicine, Tulane University, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat. Di sanalah ia melakukan penelitian soal penyakit lumpuh dan keracunan serangga di Kolombia.

Di kampus ini pula Sul pernah memberikan mata kuliah epidemiologi. Pada tahun 1962, Sul mendapat gelar master public health and tropical medicine.

Gelar doktor di bidang epidemiologi diraihnya tahun 1965 dengan penelitian disertasi berjudul ”The Natural History of Enteropathogenic Escherichia Coli Infections”.

Sebagai pendidik, ia diberi gelar guru besar oleh Universitas Airlangga pada tahun 1969, dan guru besar luar biasa pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Dokter Sulianti Saroso juga bertugas di beberapa organisasi terkemuka seperti Komite Pakar Kesehatan Ibu dan Anak WHO, Komisi Pengembangan Masyarakat PBB di Negara-negara Afrika, dan Komisi Nasional Perempuan Indonesia.

Selama hidupnya, dokter Sulianti Saroso didedikasikan untuk membantu masyarakat rentan mengakses layanan kesehatan yang berkualitas.

Prof. Dr. Sulianti Saroso meninggal dunia pada 29 April 1991 akibat serangan jantung.

Namun, warisan dan jasanya bagi bangsa Indonesia tetap abadi.

Salah satu bentuk penghargaannya adalah penamaan Rumah Sakit Pencegahan Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso sebagai pusat rujukan utama untuk penanganan penyakit menular seperti Covid-19. (*)

Artikel ini dibuat dengan bantuan AI

Baca Juga: Ben Mboi, Satu-satunya Sosok Dokter Yang Ikut Pasukan Terjun Payung Saat Operasi Trikora Di Papua Barat

Artikel Terkait