Penulis
Menurut sosiolog Universitas Padjajaran, ada sejumlah alasan kenapa seseorang gemar melakukan aksi koboi jalanan--seperti kasus pria bermobil Polda Metro Jaya tenteng pistol baru-baru ini.
Intisari-Online.com -Baru-baru ini viral sebuah video memperlihatkan seorang pria petentang-petenteng sambil membawa pistol di jalanan.
Pria bermobil plat Polda Metro Jaya itu diduga tak terima karena disalip pengemudi lainnya.
Kita lalu bertanya-tanya, kenapa seseorang gemar melakukan aksi koboi jalanan?
Terkait pertanyaan itu, Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Padjajaran Hery Wibowo punya jawabannya.
Berikut analisis Hery Wibowo seperti yang dia tuangkan dalam artikel berjudul "Arogansi Koboi Jalanan" yang tayang di Kompas.com pada Februari 2023.
"Personal Troubles atau Public Issues
Telaah sosiologis mendorong kita untuk dapat membedakan personal troubles dan public issues.
Saat kasus aksi arogan di tempat umum jarang terjadi, dapat dikatakan bahwa aksi itu masuk kategori personal troubles.
Individunyalah yang bermasalah.
Pelaku memang arogan, merasa kuat, merasa superior dan merasa berhak menginjak-injak orang yang (dia pikir) berada di bawah level sosialnya.
Belum lagi jika dilihat bahwa kasus arogansi itu cenderung dilakukan oleh orang yang (secara asumtif) memiliki status sosial lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Penggunaan jenis kendaraan yang secara sosial dilihat sebagai simbol kemewahan (atau kesuksesan?) juga berpotensi membuat penggunanya merasa "tinggi" dan berhak melakukan sesuatu berbasis "ketinggiannya" itu.
Ketika sesuatu terjadi di luar perkiraannya, dan membuat sedikit ketidaknyamanan psikologis, perilaku arogan dapat keluar dan meledak.
Bertumpuk stres internal dan eksternal dalam satu waktu, sehingga menjadi sulit untuk dikendalikan.
Namun perlu juga diperhatikan ketika arogansi di jalan raya terus meningkat, dan terjadi secara hampir merata di berbagai daerah, maka ada kekawatiran terjadi peningkatan status dari personal troubles menjadi public issues.
Bisa jadi hal itu merupakan peringatan dini terkait sistem perlalulintasan yang mungkin saja meningkatkan ambang stres dan bahkan depresi.
Kemacetan berjam-jam, jalanan yang sempit, jam berangkat dan pulang kantor yang bersamaan, akan memengaruhi kondisi emosional pengendara.
Satu stimulan kecil dapat memantik dan mengakibatkan kobaran api kemarahan di atas batas.
Hal itu juga boleh jadi merupakan peringatan dini memburuknya sikap dan kepribadian warga negara.
Karena itu, tidak salah jika disiapkan skema preventif dengan mendesain pola pendidikan karakter dan edukasi kewarganegaraan yang dapat diakses seluruh anggota masyarakat.
Negara dan sejumlah praktisi pendidikan perlu hadir untuk merespon hal ini, bukan hanya secara rehabilitatif dan kuratif, tetapi juga preventif.
Sudah saatnya perilaku warga negara dibentuk melalui kesadaran penuh dan program yang berkesinambungan.
Lensa Sosiologis
Sudut pandang sosiologis, memiliki kaidah sendiri dalam mengkaji perilaku sosial di masyarakat.
Pertama adalah seeing the general in the particular.
Aksi arogansi itu kemungkinan besar seperti fenomena gunung es.
Hanya sedikit yang muncul ke permukaan, dan diselesaikan secara hukum.
Ribuan kasus serupa bisa saja terjadi di berbagi lokasi jalan saat para pengendara berlalu lintas, dalam variasi tingkat keparahan. Kedua, seeing personal choice in social context.
Pilihan pribadi dipengaruhi kekuatan sosial.
Masyarakat adalah sumber pengaruh yang kuat pada pilihan perilaku individu.
Sebuah tingkah laku ”baru’ dalam hal ini tidak muncul begitu saja. Patut diduga bahwa para pengemudi pelaku arogansi di jalan raya secara sosiologis telah mendapatkan ’pengaruh’ tertentu untuk melakukan hal tersebut.
Apakah sering melihat contoh serupa, dorongan untuk menunjukkan identitas sosial tertentu, keinginan untuk diakui kejantanan dan keberaniannya dan lain-lain.
Sejujurnya perilaku yang menunjukkan superioritas kepada sesama pengguna jalan bukan hal yang baru, sehingga hal itu menjadi kekuatan sosial khusus bagi individu pengguna jalan lainnya.
Sangat mungkin sudah terbentuk pola umum yang sudah terhayati bahwa jika seseorang dianggap mengganggu kendaraan kita, maka teriaklah atau marahilah yang bersangkutan.
Eksistensi Sosial
Seseorang yang berani melabrak orang lain di muka umum dan menjadi tontonan publik, patut diduga bahwa yang bersangkutan butuh pengakuan sosial.
Ia merasa perlu melakukan hal tersebut untuk memenuhi satu kebutuhan khusus dalam dirinya.
Sejatinya, individu yang terlalu ingin diakui eksistensinya, justru perlu dikasihani.
Patut di duga bahwa dalam kehidupan kesehariannya, yang bersangkutan tidak cukup didengarkan segala keluhannya, tidak cukup diapresiasi segala prestasinya, dan tidak cukup diakui pemikirannya.
Dampaknya, ia mencari pemenuhan kebutuhan tersebut pada cara-cara yang tidak terduga dan bahkan berpotensi melukai ego orang lain. Kebutuhan dasar seseorang secara individu adalah untuk diakui.
Sejumlah orang telah memiliki jalur untuk diakui kepintarannya, kepakarannya, prestasinya, kontribusinya dan lain-lain melalui akses yang legal dan bermartabat.
Namun, ada sejumlah anggota masyarakat yang masih dahaga terkait pemenuhan kebutuhan untuk diakui itu.
Maka, begitu ada celah, ia akan ambil kesempatan tersebut. Berbasis self determinant theory (Kirkland dkk, 2011), salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan otonomi, atau kendali penuh atas sikap dan perilakunya sendiri.
Maka, seseorang akan merasa semakin nyaman dengan dirinya ketika kebutuhan berotonomi, atau melakukan tindakan berbasis keinginannya sendiri terpenuhi.
Namun jelas, hal ini tidak boleh kebablasan sampai mencederai pihak lain. Upaya pemenuhan kebutuhan psikologis pribadi, tetap perlu untuk selalu berada dalam koridor harmoni sosial. Namun fakta sosial di lapangan berkata lain.
Aksi kekerasan demi kekerasan terjadi, dan sebagian di antaranya diwarnai sikap arogan.
Ketika hal itu terjadi berulang dan memakan banyak korban, maka peringatan dini untuk membangun pendidikan karakter bangsa tidak boleh lagi diabaikan.
Masyarakat dibentuk melalui sekumpulan nilai dan norma yang disepakati bersama, walaupun tidak harus selalu tertulis.
Arogansi pribadi/atau kelompok masyarakat tertentu dapat mencederai nilai dan norma yang disepakati bersama tersebut.
Bangunan utuh masyarakat dapat menjadi oleng dan goyah, sehingga memerlukan keseimbangan baru. Pihak berwenang tidak boleh membiarkan praktik-praktik itu.
Perlu segera dilakukan langkah hukum untuk mencegah perbuatan semacam itu menjadi "tradisi" atau membudaya.
Kesadaran berwarga negara seyogianya dapat tercermin dari penghayatan akan penggunaan fasilitas umum bersama.
Jalan raya adalah fasilitas umum bersama yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya, sesuai dengan kebutuhan.
Perilaku arogan pada penggunaan fasilitas negara hanya akan merusak dan menciderai keharmonisan bermasyarakat."