Penulis
Siti Hartinah alias Ibu Tien adalah satu-satunya sosok yang pernah membuat Soeharto minder dalam hidupnya.
Intisari-Online.com -Soeharto bukan siapa-siapa ketika hendak meminang Siti Hartinah alias Ibu Tien yang berasal dari kalangan ningrat.
Bahkan ketika itu, Soeharto sempat merasa minder.
Ketika itu, Soeharto yang masih berusia 26 tahun tengah meniti karier di dunia militer.
Namun, bibinya Ibu Prawiro gelisah ketika Soeharto tak kunjung memiliki istri.
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta 8 Juni 1921 itu, menjawab dia masih ingin fokus melakukan perjuangan.
Alasan itu pun membuat sang bibi protes.
Karena menurutnya, pernikahan itu tidak akan menghalangi perjuangan, kemudian Ibu Prawiro menyebutkan sebuah nama.
"Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?" tanya Ibu Prawiro, dikisahkan dalam buku "Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto.
Soeharto muda pun mengiyakan pertanyaan itu.
"Tapi, bagaimana bisa? Apa dia mau? Apa orangtuanya memberikan?" tanya Soharto dengan ragu.
"Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedaba, pegawai Mangkunegaran."
Tapi, keraguan itu ditepis oleh Ibu Prawiro, dan menyatakan mengenal keluarga Hartinah dan berniat menjodohkan mereka.
Meski sudah mengenalnya sejak SMP, Soeharto ragu-ragu dan masih belum yakin.
Dia khawatir lamarannya akan ditolak lantaran dirinya, hanya orang biasa sementara Hartinah berasal dari keluarga bangsawan.
Namun, semua keraguan itu akhirnya terjawab, orangtua Hartinah tidak memandang latar belakang dan langsung menyetujui lamaran Soeharto.
Bahkan banyak yang sudah melamar Hartinah, namun hanya lamaran Soeharto yang memikat perempuan kelahiran Surakarta 23 Agustus 1923 itu.
Pernikahan pun berlangsung tanggal 26 Desember 1947, di Solo, pada sore hari.
Disaksikan teman-teman Hartinah dan tamu dari keluarga Soemoharjono yang datang.
Resepsi itu dilangsungkan malam hari, dan hanya diterangi cahaya lilin redup.
Pernikahan itu pun berlangsung dalam keadaan khawatir, jika mendadak ada serangan dari Belanda.
Usai pernikahan itu selesai tak ada bulan madu, bahkan malam pertama pun tidak dilakukan setelah pernikahan.
Soeharto harus kembali ke Yogyakarta untuk berdinas, kemudian Ibu Tien dan Pak Harto tinggal di Jalan Merbabu Nomor 2.
Seminggu usai pernikahan, Soeharto meninggalkan sang istri ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang.
Selama tiga bulan Soeharto meninggalkan istrinya usai melangsungkan pernikahan.
Di sisi lain, Ibu Tien sebagai istri seorang prajurit dia juga terbiasa hidup mandiri.
Begitulah kisah cinta Soeharto dan Ibu Tien yang serba sederhana di awal pernikahan mereka.