Penulis
Geger Pecinan memunculkan raja Mataram Islam baru bergelar sunan Kuning atau Amangkurat V. Nama aslinya Raden Mas Garendi.
Intisari-Online.com -Pada masanya, Mataram Islam ternyata pernah punya raja yang diangkat oleh para pemberontak dan Laskar Tionghoa.
Dialah Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning alias Amangkurat V.
Sunan Kuning bukanlah raja yang lahir dari garis keturunan langsung, melainkan seorang cucu dari Amangkurat III.
Di naik taktha setelah diangkat oleh para pemberontak dan laskar Tionghoa yang menentang kekuasaan Pakubuwana II dan VOC Belanda.
Amangkurat V memiliki nama asli Raden Mas Garendi yang lahir pada tahun 1726 di Kartasura, ibu kota kerajaan Mataram saat itu.
Dia adalah putra bungsu dari Pangeran Tepasana, salah satu putra Amangkurat III yang pernah menjadi raja Mataram sebelum digulingkan oleh VOC dan adiknya Pakubuwana I.
Semasa kecilnya, Raden Mas Garendi sudah mengalami kehidupan yang penuh dengan konflik dan kesulitan.
Ayahnya, Pangeran Tepasana, terbunuh oleh pasukan Pakubuwana II karena dianggap sebagai pemberontak yang ingin merebut takhta.
Setelah ayahnya tewas, Raden Mas Garendi dibawa lari oleh pamannya bernama Wiramenggala untuk menyelamatkan diri dari kejaran VOC dan Pakubuwana II.
Rombongan pelarian Kartasura tersebut melintasi Gunung Kemukus hingga menuju Grobogan.
Di sana, mereka bertemu dengan keluarga Tionghoa yang bernama Tan He Tik.
Tan He Tik adalah seorang pedagang kaya yang memiliki hubungan baik dengan para bangsawan Jawa.
Ia juga memiliki simpati terhadap perjuangan Mataram melawan VOC.
Tan He Tik kemudian mengangkat Raden Mas Garendi sebagai anak angkatnya dan memberinya pendidikan serta perlindungan.
Raden Mas Garendi pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, cerdas, dan berani.
Ia juga fasih berbahasa Jawa dan Mandarin serta menguasai ilmu bela diri.
Pada tahun 1740, terjadi peristiwa Geger Pecinan di Batavia yang menewaskan ribuan orang Tionghoa oleh pasukan VOC.
Peristiwa ini memicu kemarahan dan kebencian para Tionghoa di seluruh Jawa terhadap VOC.
Mereka kemudian membentuk kelompok-kelompok bersenjata untuk melawan VOC dan sekutunya.
Salah satu kelompok pemberontak Tionghoa yang paling kuat adalah kelompok Tan He Tik yang berbasis di Grobogan.
Tan He Tik memiliki hubungan baik dengan para bangsawan Jawa yang juga tidak senang dengan VOC dan Pakubuwana II.
Mereka kemudian membentuk sebuah koalisi Jawa-Tionghoa untuk menggulingkan Pakubuwana II dan mengembalikan kejayaan Mataram.
Koalisi Jawa-Tionghoa ini membutuhkan seorang pemimpin yang bisa menyatukan mereka dan memiliki legitimasi sebagai raja Mataram.
Mereka kemudian memilih Raden Mas Garendi sebagai calon raja mereka karena ia adalah cucu dari Amangkurat III dan anak angkat dari Tan He Tik.
Pada tahun 1742, Raden Mas Garendi secara resmi diangkat sebagai susuhunan Mataram dengan gelar Amangkurat V di Pati oleh para pemberontak dan laskar Tionghoa.
Ia juga dikenal dengan julukan Sunan Kuning karena memimpin pasukan yang berasal dari etnis
Setelah diangkat sebagai raja Mataram, Amangkurat V bersama dengan para pemberontak dan laskar Tionghoa bergerak menuju Kartasura untuk merebut ibu kota dari tangan Pakubuwana II dan VOC.
Mereka berhasil mengepung dan menyerbu istana pada bulan Juli 1742 dan mengusir Pakubuwana II ke Ponorogo.
Amangkurat V kemudian memasuki istana Kartasura dan menduduki singgasana Mataram.
Ia juga mengambil alih segala harta benda dan perabotan istana yang ditinggalkan oleh Pakubuwana II.
Ia bahkan mengambil pusaka kerajaan seperti keris Kyai Ageng Plered dan Kyai Ageng Sengkelat.
Namun, Amangkurat V tidak bisa menikmati kemenangannya dengan tenang.
Ia harus menghadapi serangan balik dari VOC dan Pakubuwana II yang dibantu oleh beberapa pangeran Mataram lainnya seperti Pangeran Mangkubumi (calon Hamengkubuwono I) dan Pangeran Sambernyawa (calon Mangkunegara I).
Perang antara Amangkurat V dan VOC berlangsung sengit dan berdarah-darah.
Banyak korban jiwa yang berjatuhan dari kedua belah pihak.
Amangkurat V berusaha mempertahankan Kartasura dengan gigih, tetapi ia juga harus menghadapi pemberontakan di dalam kota dari para penduduk asli yang tidak senang dengan kehadiran laskar Tionghoa12.
Pada akhirnya, Amangkurat V tidak mampu bertahan lebih lama dari tekanan VOC dan Pakubuwana II.
Ia terpaksa meninggalkan Kartasura pada bulan September 1743 dan melarikan diri ke arah timur bersama dengan para pengikutnya.
Ia sempat berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh. Ia pernah berada di Randulawang, Blora, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, hingga Lumajang.
Di beberapa tempat tersebut, ia masih mendapat dukungan dari para pemberontak dan laskar Tionghoa yang setia padanya.
Namun, dukungan tersebut tidak cukup untuk mengimbangi kekuatan VOC yang semakin besar dan kuat.
VOC berhasil mengepung dan menaklukkan beberapa benteng pertahanan Amangkurat V.
Banyak dari para pengikutnya yang tertangkap, terbunuh, atau menyerah kepada VOC.
Akhirnya, pada tahun 1746, Amangkurat V ditangkap oleh VOC di Lumajang bersama dengan Amangkurat IV yang juga ikut melarikan diri dari Kartasura12.
Keduanya kemudian dibawa ke Batavia dan diadili oleh VOC. Mereka dinyatakan bersalah karena memberontak terhadap VOC dan Pakubuwana II.
VOC kemudian memutuskan untuk membuang Amangkurat V dan Amangkurat IV ke Sailan (Sri Lanka) sebagai tahanan politik.
Di sana, mereka hidup dalam pengawasan ketat VOC hingga akhir hayat mereka. Tidak diketahui secara pasti kapan mereka meninggal dunia.
Dengan penangkapan Amangkurat V, pemberontakan Jawa-Tionghoa pun berakhir. VOC berhasil menguasai kembali Mataram dan mengembalikan Pakubuwana II sebagai Raja Mataram.