Penulis
Intisari-online.com - Ketika kita mendengar kata tentara, mungkin yang terbayang di benak kita adalah sosok laki-laki yang gagah dan berani.
Namun, tahukah Anda bahwa di masa lalu ada tentara wanita yang tak kalah perkasa dan ditakuti oleh musuh-musuhnya?
Mereka adalah prajurit estri, pasukan elit kesultanan Mataram yang beranggotakan perempuan-perempuan dari perdesaan.
Prajurit estri adalah satuan pasukan khusus yang dibentuk oleh Pangeran Sambernyawa, yang kemudian menjadi KGPAA Mangkunegara I.
Pangeran Sambernyawa adalah salah satu pahlawan perang melawan VOC yang berhasil merebut Surakarta dari tangan Belanda pada tahun 1743.
Ia juga dikenal sebagai pencipta tari bedhaya dan gamelan pelog.
Pangeran Sambernyawa melatih perempuan-perempuan pilihan dari desa-desa di sekitar Surakarta untuk menjadi prajurit estri.
Mereka dilatih dalam hal berkuda, menembak, berpedang, dan berperang.
Mereka juga diajari seni tari, musik, dan sastra Jawa. Salah satu syarat untuk menjadi prajurit estri adalah harus memiliki paras cantik dan tubuh sehat.
Prajurit estri dipimpin oleh Rubiyah, yang bergelar Raden Ayu Matah Ati. Ia adalah putri dari seorang demang (pejabat daerah) di Wonogiri.
Ia juga merupakan istri kedua dari Pangeran Sambernyawa. Rubiyah adalah sosok perempuan yang cerdas, berani, dan setia kepada suaminya. Ia ikut berjuang bersama suaminya melawan Belanda dan membantu mengurus urusan istana.
Baca Juga: Dua Kali Berani Serang Belanda, Inilah 8 Fakta Sultan Agung, Raja Mataram yang Ditakuti VOC
Prajurit estri memiliki peran penting dalam sejarah kesultanan Mataram. Mereka tidak hanya menjadi pengawal raja dan keluarga keraton, tetapi juga ikut berperang di medan laga.
Mereka terlibat dalam beberapa pertempuran besar, seperti Perang Jawa (1741-1743), Perang Banjarmasin (1757), dan Perang Diponegoro (1825-1830).
Salah satu kisah heroik prajurit estri adalah ketika mereka menghadapi serangan Belanda di Surakarta pada tahun 1743.
Saat itu, Belanda menyerbu istana Mangkunegaran dengan pasukan yang lebih banyak dan lebih lengkap persenjataannya.
Prajurit estri bersama pasukan Mangkunegaran bertahan dengan gigih dan berhasil mengusir Belanda dari istana.
Kemampuan prajurit estri dalam menunggang kuda dan menggunakan senjata api membuat mereka ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels mengaku terkejut ketika menyaksikan pertunjukan turnamen perang-perangan yang dilakukan oleh 40 orang prajurit estri di Yogyakarta pada tahun 1809.
Ia kagum dengan kepiawaian mereka yang biasanya hanya dimiliki oleh laki-laki.
Prajurit estri juga dikenal sebagai abdi dalem priyayi manggung atau pelayan raja yang berkedudukan tinggi.
Mereka memiliki hak istimewa untuk tinggal di lingkungan keraton dan mendapatkan upah dari raja.
Mereka juga memiliki kemampuan seni yang tinggi, seperti menari, menyanyi, dan memainkan musik. Beberapa tarian klasik Jawa, seperti bedhaya dan srimpi, diciptakan oleh Pangeran Sambernyawa.
Baca Juga: Babak Beluk Diserbu Pasukan Trunojoyo, Raja Mataram Amangkurat I Kabur Ke Tempat Ini Hingga Tewas
Selain menjadi pionir perang, korps prajurit estri juga merupakan abdi dalem dalam istana. Mereka memiliki tugas mengusung perkakas raja, seperti bejana air minum, sirih komplet, pipa tembakau, keset, payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian.
Mereka juga berprofesi sebagai penyanyi, penari, dan pemain musik dalam keraton Mangkunegaran.
Beberapa tarian klasik Jawa, seperti bedhaya dan srimpi, diciptakan oleh Pangeran Sambernyawa dengan menginspirasi dari gerak-gerik prajurit estri.
Prajurit estri memiliki hak istimewa untuk tinggal di lingkungan keraton dan mendapatkan upah dari raja.
Mereka juga memiliki kedudukan tinggi sebagai abdi dalem priyayi manggung atau pelayan raja yang berkedudukan tinggi. Mereka juga dikenal sebagai pasukan langenkusumo atau pasukan bunga yang harum.
Namun, mereka juga harus tunduk pada peraturan keraton yang ketat dan tidak boleh menikah dengan laki-laki di luar keraton.
Nasib prajurit estri berubah seiring dengan berakhirnya masa kejayaan kesultanan Mataram. Menurut catatan sejarah, pada abad ke-18 terjadi eksploitasi perempuan besar-besaran di istana Surakarta.
Perempuan-perempuan mantan prajurit estri diperjual-belikan pada bangsawan setempat. Namun anehnya mereka justru senang dan bahagia karena menjadi istri bangsawan.
Mereka percaya bahwa suaminya kelak tak akan berani memperlakukan mereka secara buruk, apalagi ada ungkapan raja akan marah jika memperlakukan buruk terhadap istri.
Prajurit estri adalah salah satu contoh perempuan-perempuan perkasa yang ada dalam sejarah nusantara.
Mereka menunjukkan bahwa perempuan juga bisa berperan aktif dalam bidang militer dan seni. Mereka juga menjadi saksi dari dinamika politik dan sosial yang terjadi di era kesultanan Mataram.
Kisah heroik mereka patut dikenang dan dihormati sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.