Penulis
Raja Mataram Islam Amangkurat I harus menghadapi salah satu pemberontakan paling kuat dari Trunojoyo. Sampai tewas di pelarian.
Intisari-Online.com -Bisa dibilang sebagai salah satu fase paling buruk dalam sejarah Mataram Islam.
Ini adalah fase ketika keraton Mataram Islam di Plered didukuki oleh Trunojoyo sebagai sang raja, Amangkurat I, kabur ke wilayah Tegal.
Belum sempat kembali ke keratonnya, Amangkurat I keburu mangkat di sana.
Bagaimana kisahnya?
Pemberontakan Trunojoyo adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada abad ke-17.
Pemberontakan ini dilancarkan oleh pangeran Madura, Raden Trunojoyo, dan sekutunya, pasukan dari Makassar, terhadap Kesultanan Mataram di bawah Amangkurat I yang dibantu oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Jawa. P
emberontakan ini berakhir dengan kemenangan Mataram dan VOC setelah beberapa tahun perang.
Pemberontakan Trunojoyo dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintahan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung pada tahun 1646.
Amangkurat I dikenal sebagai raja yang zalim, sewenang-wenang, dan bersekutu dengan VOC.
Ia sering membunuh siapa saja yang dianggap tidak patuh atau berusaha merongrong kekuasaannya, termasuk para ulama dan santri yang jumlahnya mencapai ribuan.
Amangkurat I juga menandatangani perjanjian dengan VOC yang memberi izin kepada Belanda untuk berdagang di semua pelabuhan Mataram.
Trunojoyo sendiri adalah seorang bangsawan Madura yang masih cicit Sultan Agung.
Ayahnya, Raden Demang Melayakusuma, dibunuh oleh Amangkurat I di istana pada tahun 1656.
Trunojoyo kemudian melarikan diri ke Kajoran dan menikahi putri Raden Kajoran yang merupakan ulama dan kerabat istana Mataram.
Di sana ia bertemu dengan putra mahkota Mataram, Raden Mas Rahmat (kelak Amangkurat II), yang juga tidak senang dengan ayahnya.
Mereka sepakat untuk bersekongkol melawan Amangkurat I dengan janji bahwa Raden Mas Rahmat akan menjadi raja baru dan Trunojoyo akan mendapat kekuasaan atas Madura dan sebagian Jawa Timur.
Pada tahun 1674, Trunojoyo berhasil merebut Madura dari Cakraningrat II, penguasa setempat yang diasingkan oleh Amangkurat I.
Ia kemudian memproklamirkan diri sebagai Panembahan Maduretno dan mendirikan pemerintahan di Madura Barat.
Ia juga menjalin kerjasama dengan Karaeng Galesong dan Mantemarano, pemimpin pasukan Makassar yang melarikan diri dari Sulawesi setelah dikalahkan oleh VOC.
Selain itu, ia juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang tidak menyukai pemerintahan Mataram.
Dengan pasukan gabungan Madura, Makassar, dan Surabaya, Trunojoyo mampu menguasai Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Pada tahun 1677, ia berhasil menduduki ibu kota Mataram di Plered dan memaksa Amangkurat I yang sedang sakit melarikan diri ke arah Barat untuk meminta bantuan kepada VOC, tepatnya di sebuah wilayah bernama Tegalarum, Tegal.
Dalam pelariannya, Amangkurat I meninggal dan digantikan oleh Raden Mas Rahmat sebagai Amangkurat II.
Amangkurat II kemudian meminta bantuan kepada VOC dengan menjanjikan pembayaran dalam bentuk uang dan wilayah.
VOC menyanggupi permintaan itu karena ingin mengamankan kepentingannya di Jawa dan menghentikan pengaruh Makassar.
VOC juga mendapat bantuan dari Arung Palakka, pemimpin Bugis yang menjadi sekutu VOC setelah kalah dari Makassar.
Keterlibatan VOC berhasil membalikkan situasi.
Pasukan VOC dan Mataram merebut kembali daerah-daerah Mataram yang diduduki oleh Trunojoyodi Kediri pada tahun 1678.
Trunojoyo melarikan diri ke arah timur dan terus melakukan perlawanan bersama pasukan Makassar.
Namun, pasukan Makassar mulai berkurang karena banyak yang meninggal atau menyerah.
Karaeng Galesong sendiri tewas dalam pertempuran di Pasuruan pada tahun 1679.
Trunojoyo akhirnya ditangkap oleh VOC di daerah Roban (sekarang Kabupaten Tuban) pada akhir 1679.
Ia dibawa ke Jepara dan ditahan di benteng VOC.
Amangkurat II kemudian mengunjungi Trunojoyo di penjara dan membunuhnya dengan cara yang kejam pada tahun 1680.
Ia memenggal kepala Trunojoyo dan menginjak-injak serta menumbuk tubuhnya.
Selain Trunojoyo dan sekutunya, Amangkurat II juga menghadapi upaya-upaya lain untuk merebut takhta Mataram pasca kematian ayahnya.
Rival paling serius adalah adiknya, Pangeran Puger (kelak Pakubuwana I) yang merebut Keraton Plered setelah ditinggalkan pasukan Trunojoyo pada tahun 1677 dan baru menyerah pada tahun 1681.