Find Us On Social Media :

'Mereka Berhubungan dengan Saya Setiap Menit,' Pengakuan Seorang Wanita Penghibur Jepang

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 17 Desember 2022 | 14:00 WIB

(Ilustrasi) Prajurit Militer Jepang selama Perang Dunia II

Intisari-Online.com - Lee Ok-seon, yang saat itu masih seorang perempuan muda berusia 14 tahun, tiba-tiba diculik oleh sekelompok pria berseragam keluar dari mobil.

Ia dibawa ke "stasiun kenyamanan"—sebuah rumah bordil untuk melayani tentara Jepang di Tiongkok yang tengah diduduki Jepang.

Di sana, ia menjadi salah satu dari puluhan ribu “wanita penghibur.”

Ia dan ribuan wanita tersebut menjadi sasaran prostitusi paksa oleh tentara kekaisaran Jepang antara tahun 1932 dan 1945.

Meskipun rumah bordil militer ada di militer Jepang sejak 1932, mereka berkembang secara luas setelah insiden the rape of Nanking.

Melansir History.com, pada 13 Desember 1937, pasukan Jepang memulai pembantaian selama enam minggu dan menghancurkan kota Nanking di Tiongkok.

Sepanjang jalan, tentara Jepang merudapaksa antara 20.000 dan 80.000 wanita China.

Pemerkosaan massal tersebut membuat dunia ngeri, dan Kaisar Hirohito prihatin dengan dampaknya terhadap citra Jepang.

Sebagai sejarawan hukum Carmen M. Agibay mencatat, kaisar memerintahkan militer untuk memperluas rumah bordil militer.

Hal itu dilakukan untuk mencegah kekejaman lebih lanjut, mengurangi penyakit menular seksual dan memastikan kelompok pelacur yang stabil dan terisolasi untuk memuaskan selera seksual tentara Jepang. 

 Baca Juga: Siapa Laksamana Maeda? Inilah Sosok yang Namanya Trending saat Timnas Jepang Kalah dari Kroasia

“Merekrut” perempuan untuk rumah bordil sama dengan menculik atau memaksa mereka. 

Wanita dikumpulkan di jalan-jalan wilayah pendudukan Jepang, mereka diiming-imingi pekerjaan.

Begitu mereka berada di rumah bordil, mereka dipaksa untuk berhubungan dengan penculiknya secara brutal dan tidak manusiawi. 

Meskipun pengalaman setiap wanita berbeda, kesaksian mereka memiliki banyak kesamaan.

Mereka mengalami pemerkosaan berulang semakin sering sebelum pertempuran, rasa sakit yang menyiksa, kehamilan, penyakit menular dan kondisi suram.

“Itu bukan tempat untuk manusia,” kata Lee kepada Deutsche Welle pada 2013.

Seperti wanita lain, dia diancam dan dipukuli oleh para penculiknya.

“Tidak ada istirahat,” kenang Maria Rosa Henson, seorang wanita Filipina yang dipaksa menjadi pelacur pada tahun 1943.

“Mereka berhubungan dengan saya setiap menit.”

Berakhirnya Perang Dunia II tidak mengakhiri rumah bordil militer di Jepang.

Pada tahun 2007, wartawan Associated Press mengungkap bahwa AS mengizinkan beroperasinya rumah bordil melewati akhir perang.

Baca Juga: Mengapa Jepang Memberikan Janji Kemerdekaan kepada Indonesia?

Tak hanya itu, puluhan ribu wanita di rumah bordil juga berhubungan badan dengan pria Amerika sampai Douglas MacArthur menutup sistem tersebut pada tahun 1946.

 Baca Juga: Ini Pengaruh Pendudukan Jepang di Indonesia, Benarkah Lebih Kejam dari Belanda?

(*)