Penulis
Intisari-Online.com - Tragedi di Stadion Kanjuruhan yangmenelan banyak korban jiwa dan luka-luka telah terjadi usai laga Arema versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10/2022).
Tragedi bermula dari masuknya dua orang suporter ke lapangan untuk memberikan semangat kepada pemain Arema FC.
Turunnya suporter ke lapangan memicu suporter lain untuk melakukan hal serupa.
Bertambahnya penonton ke lapangan membuat 11 personel Polri menembakkan gas air mata.
Tujuh tembakan ke arah tribune selatan, satu tembakan ke arah tribun utara, dan tiga tembakan ke arah lapangan.
Tembakan gas air mata, utamanya ke arah tribun, membuat penonton panik dan berlarian ke arah pintu keluar.
Mereka berhimpitan dan berdesakan mencari jalan keluar, sembari menahan pedihnya paparan gas air mata yang membuat sesak napas hinggasebanyak 131 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka.
Atas kejadian itu,Kapolri Jenderal Listyo Sigit juga sudah menetapkan enam orang tersangka dalam tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (6/10/2022) malam.
Enam tersangka itu mulai dari panitia pelaksana hingga anggota kepolisian.
Meski begitu,Peneliti ISESS Bidang Kepolisian, Bambang Rukminto menilai Kepolisian RI (Polri) belum menetapkan siapa yang paling bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan.
Bambang mengungkapkan, penetapan 6 orang tersangka tragedi Kanjuruhan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo beberapa waktu lalu berbeda dengan penetapan siapa yang paling bertanggung jawab.
Sebab, penetapan 6 tersangka itu hanya menyasar aparat keamanan berpangkat kecil dan operator lapangan.
"Artinya memang sampai saat ini Polri belum menentukan siapa yang harus dan paling bertanggung jawab pada tragedi ini," kata Bambang saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/10/2022).
Menurut Bambang, pengusutan tuntas memang tidak cukup dengan penetapan tersangka.
Pengusutan tuntas harus menetapkan siapa yang paling bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan.
Tidak adanya sosok yang bertanggung jawab justru akan menambah preseden buruk bagi kinerja Polri.
Bambang menilai, Polri akan lebih dianggap buruk dan tidak bekerja maksimal atas pengusutan tragedi sepakbola dengan jumlah kematian kedua terbesar di dunia.
"Permintaan maaf saja juga tidak cukup karena tidak bisa mengembalikan nyawa-nyawa yang hilang dan jejak luka traumatis ratusan penonton bola di Kanjuruhan dan ahli warisnya," ucapnya.
Sesuai pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo, pencopotan merupakan mutasi dan promosi biasa yang notabene langkah umum di institusi Polri.
Artinya, pencopotan Kapolres Malang dan Kapolda Jatim pun tidak bisa dibaca sebagai konsekuensi tanggung jawab pada tragedi Kanjuruhan.
Di satu sisi, Polri ingin membangun citra polisi yang baik dengan seremoni sujud maaf.
Tapi di sisi lain, Mabes Polri membuat pernyataan yang tetap tidak mengakui kesalahannya.
(*)