Siasat 'Gila' Kompeni Pertahankan Batavia, Serang Pasukan Sultan Agung dengan Tinja

Khaerunisa

Penulis

Ilustrasi serangan Mataram ke Batavia.

Intisari-Online.com - Sultan Agung Raja Mataram dikenal sebagai penguasa pertama yang berani melawan Belanda.

Perlawanan Mataram terhadap Belanda diketahui terjadi dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629.

Dua serangan itu pada akhirnya menemui kegagalan, tetapi menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Rupanya, di antara serangan-serangan Mataram terhadap Belanda, terselip kisah unik mengenai bagaimana pasukan Mataram dipukul mundur.

Dalam salah satu serangan, pasukan Mataram dipukul mundur usai Belanda melakukan siasat 'gila' untuk mempertahankan Batavia.

Bukan menggunakan peluru, tetapi pasukan Belanda malah menggunakan tinja.

Bagaimana pasukan Belanda sampai menggunakan 'senjata' yang tak biasa itu?

Ada sejumlah saksi, meski tak langsung, yang telah mengisahkan peristiwa itu.

Misalnya Seyger van Rechteren, seorang "Krankbezoeker", yaitu pegawai VOC yang tugasnya menengok dan menghibur orang-orang sakit, yang tiba di Batavia pada tanggal 23 September 1629.

Jadi, kedatangan Seyger van Rechteren di Batavia hanya beberapa hari saja sebelum terjadi serangan yang kedua kalinya dari Mataram.

Waktu serangan datang, Van Rechteren berada di benteng "Maagdelijn" yang letaknya ada di sudut Tenggara kota. Ia menyaksikan betapa benteng itu dihujani meriam dan api.

Dikisahkannya bahwa saat hanya tinggal 15 orang serdadu Belanda tanpa sebutir pelurupun tersisa kecuali mesiunya, peristiwa tinja itu terjadi.

Dalam keadaan yang kritis itu seorang serdadu berlari mengambil kotoran manusia dengan sebuah panci dan menyiramkannya ke bawah, ke arah pasukan-pasukan Mataram.

Kemudian, perbuatan seorang serdadu itu segera ditiru oleh teman-temannya.

Karena tidak tahan pada baunya, balatentara Mataram lalu mengundurkan diri dan selamatlah benteng itu.

Namun, laporan Van Rechteren dipertanyakan jika melihat cerita lainnya bahwa serbuan Mataram yang kedua itu sama sekali tidak membahayakan Kompeni.

Pada serangan yang kedua, pasukan-pasukan Mataram sudah ditarik mundur pada minggu pertama bulan Oktober 1629 tanpa sebab-sebab yang jelas.

Dalam cerita-cerita tradisionil seperti "Babad Tanah Jawi" disebutkan bahwa peristiwa itu merupakan pengampunan yang diberikan Sultan Agung kepada Kompeni.

Karena itu maka pada tahun 1630 Kompeni mengirim seorang utusan ke ibukota Mataram untuk menyerahkan hadiah-hadiah sebagai tanda terima kasih bahwa Sultan telah mengampuni mereka dan tidak jadi mengusir mereka dari Batavia.

Sementara serangan yang hampir menjebolkan benteng "Maagdelijn" justru terjadi pada tahun 1628 atau serangan Mataram yang pertama, di mana Van Rechteren masih ada di Negeri Belanda.

Sehingga disimpulkan bahwa Van Rechteren tidak benar-benar menyaksikan sendiri "episode kotoran manusia" itu, tetapi ia mengalami ketika hangat-hangatnya kejadian itu diperbincangkan orang.

Meski begitu, kisah mengenai siasat 'gila' kompeni mempertahankan Batavia itu bukan hanya datang dari Van Rechteren.

Serangan Mataram tahun 1628 dilancarkan dalam 4 gelombang.

Gelombang pertama terjadi pada tanggal 26 Agustus malam dan terus berlangsung sampai pagi harinya.

Sasaran utamanya adalah bagian sisi Barat Ciliwung, yang ternyata telah dikosongkan atas perintah Jan Pieterzoon Coen.

Gelombang kedua dilancarkan tanggal 11 September. Kali ini juga tidak menghasilkan apa-apa, karena tenggang waktu antara gelombang pertama dan kedua cukup bagi Kompeni memperbaiki apa yang dirasanya kurang.

Gelombang ketiga adalah serangan yang paling berbahaya bagi Kompeni.

Sepanjang malam tanggal 21 September, pasukan-pasukan Mataram mengepung seluruh kota, termasuk dari arah laut. Dan ternyata Ternyata yang menjadi sasaran adalah benteng Maagdelijn.

Gelombang keempat dan terakhir adalah pada bulan Nopember, akan tetapi serangan inipun tidak membawa hasil apa-apa bagi Mataram.

Sehingga diyakini gelombang serangan ketiga pada tanggal 21 September 1628 itulah yang ditulis Van Rechteren, saat terjadi peristiwa kehabisan peluru dan meriam-meriam diisi dengan kotoran manusia.

Selain Van Rechteren, ada orang lain yang mengalami hangat-hangatnya peristiwa meriam diisi kotoran manusia diperbincangkan orang.

Ia adalah seorang pedagang dari Jerman bernama David Tappen yang pada tahun 1680 tiba di Batavia untuk urusan dagang.

Dalam laporannya yang diterbitkan tahun 1704, ia juga menyebut-nyebut peristiwa mengenai meriam-meriam Belanda yang diisi kotoran manusia karena sudah kehabisan peluru.

Bahkan Raffles di dalam bukunya yang terkenal "History of Java" (Jilid II, 1817, him. 154) menceritakan bagaimana keadaan Belanda dalam benteng Maagdelijn itu kehabisan peluru sehingga mereka lalu menggunakan batu dan benda-benda keras lainnya sebagai isi meriam, untuk kemudian ia mengatakan:

"… even this resource failed; and as a last expedient, bags of the filthiest ordure were fired upon the Javans whence the fort has ever since borne the name of Kota Tahi...." (" bahkan alat inipun gagal; dan sebagai usaha terakhir, berkantung-kantung kotoran ditembakkan ke arah orang-orang Jawa sehingga sejak saat itu benteng tadi bernama KotaTahi ..").

Sehingga dengan keterangan Raffles itu makin diyakini serangan di benteng Holandia atau benteng Maagdelijn itulah saat Kompeni terpaksa menggunakan kotoran manusia sebagai peluru.

Baca Juga: Sultan Agung Utus Algojo Penggal Kepala Panglima Usai Kalah Lawan VOC

(*)

Artikel Terkait