Korban Meninggal Bertambah Jadi 174 Dalam Tragedi Kanjuruhan, Ternyata Kasusnya Persis dengan Tragedi Kematian Massal di Peru

Afif Khoirul M

Penulis

Kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Intisari-online.com - Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pasca pertandingan sepak bola Arema vs Persebaya, Sabtu (1/10/22), menyebabkan ratusan korban.

Sebelumnya, pada Minggu (2/10/22) dini haru jumlah korban pertama mencapai 40 orang meninggal, kemudian bertambah menjadi 127 orang.

Kini menurut data terbaru, korban dalam Tragedi Kanjuruhan bertambah menjadi 174 orang meninggal.

Hal ini disampaikan oleh Badan Penanggulngan Bencana Daerah (BPPD) Jawa Timur.

"Data BPPD, Jatim pukul 10.30 mencapai 174 orang," ujar Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak.

Menurutnya, ada total 11 orang luka berat, dan 298 orang lainnya luka ringan.

Pemerintah Jawa Timur telah menyiapkan 8 rumah sakit sebagai rujukan untuk para korban, di antaranya RSI Wajak Huasada, RSUD Mitra Delima, RSI Gondanglegi, RSU Wajak Husada, dll.

Kerusuhan yang berakhir dengan ratusak korban jiwa tersebut bermula sejak pertandingan Arema Vs Persebaya berakhir dengan kemenangan Persebaya 3-2.

Atas kekalahan tuan rumah Arema banyak suporter turun ke lapanga hingga membuat susanya chaos.

Jumlah polisi yang tak sebanding dengan jumlah suporter lansung menembakkan gas air mata.

Namun, bumerang justru terjadi, membuat suporter panik, sesak napas, hingga pingsan.

Beberapa suporter yang berdesak-desakan, pingsan, hingga dilaporkan 34 orang meninggl di dalam stadion.

Atas peristiwa memilukan itu, Tragedi Kanjuruhan menjadi tragedi sepak bola paling mematikan di dunia kedua.

Sementara tragedi paling mematikan pertama terjadi di Peru 50 tahun silam pada 26 Mei 1964, di Estadio Nacional, antara Peru Vs Argentina.

Ironisnya kronologi kejadian tragis tersebut nyaris sama dengan Tragedi Kanjuruhan, yang berkaitan dengan gas air mata.

Saat pertandingan menit akhir, wasit meniup peluit dengan menganulir gol pemain Peru.

Kala itu stadion penuh berdesakan, dengan kapasitas 53.000 penonton, yang tiba-tiba menyerbu ke lapangan.

Bahkan ada penonton yang mencoba untuk memukul wasit, lalu lainnya melemapari barang ke arah polisi.

Polisi langsung menembakkan gas air mata, hingga membuat suporter panik, sesak, napas hingga pingsan.

Suporter yang berdesakan ada yang jatuh dan terinjak-injak, hingga menyebabkan korban berjatuhan.

Beberapa hari kemudian, dilaporkan jumlah korban tewas mencapai 328 orang.

Tragedi ini menjadi bencana paling mematikan dalam sejarah sepak bola, dan Tragedi Kanjuruhan pun menempati urutan kedua.

Baca Juga: Korban Jiwa Terus Bertambah, Kericuhan di Stadion Kanjuruhan Jadi Tragedi Paling Mematikan ke-2 dalam Sejarah Sepak Bola Dunia

Artikel Terkait