Find Us On Social Media :

Berlimpah Kekayaan, Mengapa Negara-negara Arab Teluk Tak Dipilih para Pengungsi Suriah?

By Ade Sulaeman, Kamis, 10 September 2015 | 17:30 WIB

Berlimpah Kekayaan, Mengapa Negara-negara Arab Teluk Tak Dipilih para Pengungsi Suriah?

Intisari-Online.com - Saat negara-negara Barat bergulat dengan krisis pengungsi paling serius sejak Perang Dunia II, sebagian besar dari mereka yang melakukan perjalanan sangat berbahaya itu berasal dari Suriah, ada keprihatinan mendalam terkait kegagalan negara-negara Arab Teluk yang kaya minyak untuk membuka pintunya bagi para pencari suaka.

Letak Suriah berdekatan dengan negara-negara Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain, dan Kuwait. Namun, para pengungsi Suriah selama beberapa tahun terakhir justru menyeberang ke Lebanon, Jordania, dan Turki. Kini mereka pergi lebih jauh lagi, Eropa.

BBC pekan lalu melaporkan, kemakmuran dan kedekatan negara-negara Arab Teluk dengan Suriah telah menimbulkan banyak pertanyaan soal apakah mereka punya kewajiban lebih besar ketimbang negara-negara Eropa. Pertanyaan itu muncul dalam hashtag #Welcoming_Syria's_refugees_is_a_Gulf_duty di media sosial Twitter berbahasa Arab. Sebuah laman Facebook bernama The Syrian Community in Denmark berbagi video yang menggambarkan pengungsi diperbolehkan masuk Austria lewat Hongaria, dan membuat pengguna lain bertanya, "Mengapa mereka kabur dari wilayah saudara-saudara kita sesama Muslim, yang seharusnya lebih bertanggung jawab, ketimbang ke negara-negara yang mereka sebut sebagai "negara kafir"?" Pengguna lain menjawab, "Saya bersumpah atas nama Allah yang Maha Perkasa, orang-orang Arab itulah yang kafir."

BBC juga mengutip harian Makkah yang bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan lewat media sosial. Kartun itu memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk. Dia melihat ke sebuah pintu berpagar kawat berduri dan menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?" Kartun ini secara jelas menyindir keras sikap pemerintah negara-negara Teluk.

Namun, benarkah negara-negara Teluk tidak peduli dengan penderitaan tetangganya.

The Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (10/9/2015), melaporkan bahwa sesungguhnya negara-negara itu telah berada di antara para donor terbesar dunia untuk membantu para pengungsi Suriah. Bantuan-bantuan mereka disalurkan melalui badan-badan PBB dan badan amal swasta.

Dengan GDP tahunan yang jika digabung mencapai sekitar 2 triliun dollar AS untuk populasi kolektif kurang dari 55 juta jiwa, negara-negara itu sangat mampu untuk bermurah hati.

Namun, negara-negara Teluk juga harus mempertahankan keputusan mereka, yaitu tak ada pemukiman kembali buat pengungsi Suriah.

SMH mengutip Amnesty International yang mengatakan bahwa negara-negara Teluk "karena kedekatan geografis, hubungan sejarah dengan Suriah, dan potensi integrasi yang relatif mudah karena punya kesamaan bahasa dan agama, harus melakukan kontribusi yang signifikan terhadap pemukiman kembali para pengungsi Suriah."

Lembaga itu mencatat negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya, seperti Rusia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan, juga menetapkan kebijakan tidak ada opsi pemukiman kembali bagi para pengungsi.

Kuwait sejauh ini merupakan donor paling dermawan dengan memberikan hampir sepertiga dari semua bantuan yang dijanjikan untuk krisis Suriah melalui PBB, atau sebesar 800 juta dollar AS sejak 2012. Sementara UEA telah memberikan 364 juta dollar AS, tulis Jane Kinninmont, peneliti senior di Progam Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, Selasa (8/9/2015), seperti dikutip SMH.

Masih menurut Kinninmont, jumlah itu memang kecil dibanding bantuan Inggris sebesar 1 miliar dollar atau bantuan AS sebanyak 3 miliar dollar, tetapi angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan PDB negara bersangkutan. "Ini bukan isu spesifik tentang permusuhan terhadap pengungsi Suriah: enam monarki Teluk itu tidak pernah menandatangani konvensi internasional tentang hak-hak pengungsi dan orang yang tidak punya kewarganegaraan," tulis Kinninmont.