Indonesia dan Malaysia Mendadak Disandingkan, Dua Negara Asia Tenggara Ini Disebut-Sebut Paling Mudah 'Terhasut' Isu Miring Soal China, Bumbu 'Agama' Hingga Kehadiran Etnis Tionghoa Jadi Pemicunya?

Afif Khoirul M

Penulis

Presiden RI Jokowi dan Presiden China Xi Jinping. Utang Indonesia ke China bertambah setelah suntikan dana ini dikucurkan

Intisari-online.com - Di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia disebut sebagai negara yang rentan terhadap kampanye pengaruh Beijing dari awal 2019 hingga akhir tahun lalu.

Sementara Filipina disebut lebih tangguh, menurut laporan baru oleh Freedom House, sebuah organisasi nirlaba yang berkantor pusat di Washington.

"Pemerintah China, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, mempercepat kampanye besar-besaran untuk mempengaruhi outlet media dan konsumen berita di seluruh dunia," kata laporan itu.

"Sementara beberapa aspek dari upaya ini menggunakan alat diplomasi publik tradisional, banyak lainnya yang terselubung, koersif, dan berpotensi korup," ujar laporan itu dalam memberikan gambaran tentang pengaruh media Beijing di seluruh dunia.

"Semakin banyak negara telah menunjukkan perlawanan yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir, tetapi taktik Beijing secara bersamaan menjadi lebih canggih, lebih agresif, dan lebih sulit untuk dideteksi," katanya.

Menurut laporan Freedom House, Indonesia dan Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim termasuk di antara setidaknya 16 negara yang ditemukan rentan terhadap dorongan pengaruh Beijing.

Wartawan, influencer, pemimpin Islam, politisi, dan mahasiswa Indonesia dan Malaysia berpartisipasi dalam perjalanan yang disubsidi Beijing ke Xinjiang yang menyajikan perspektif wilayah yang dikendalikan oleh negara.

Beberapa dari mereka yang mengulangi poin pembicaraan Beijing termasuk penolakan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang Uygur Autonomous Region (XUAR), kata laporan itu.

Upaya itu tidak menenangkan kekhawatiran populasi Muslim di negara-negara Asia Tenggara, menurut laporan itu.

Freedom House mengatakan banyak orang Indonesia sebagian besar skeptis terhadap China, sementara liputan media lokal tentang Xinjiang tetap kritis karena laporan pelanggaran di XUAR telah menjadi viral di media sosial.

Sementara upaya pengaruh pemerintah China meningkat dengan kesepakatan baru antara media pemerintah kedua negara, laporan tersebut mengatakan jumlah orang Indonesia yang menyebut China sebagai "kekuatan revisionis" telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara diMalaysia, di mana seperempat populasinya adalah etnis Tionghoa, orang-orang skeptis terhadap narasi Beijing.

Baca Juga: Percaya Bahwa Bubur Nasi yang Dimakannya Berasal dari Mutiara yang Dimasak, Kaisar Zhengde Tak Hanya Dikenal Mudah Ditipu tapi Juga 'Gila' Lantaran Kekejamannya Ini

Bahkan ketika laporan tersebut mencatat bahwa, 90 persen media berbahasa China di negara itu dimiliki oleh seorang taipan China-Malaysia dengan kepentingan bisnis yang kuat di China.

"Garis editorial dari outlet-outlet ini dengan demikian didominasi oleh narasi pro-Beijing dan media berbahasa Mandarin kurang mempublikasikan topik sensitif secara politik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dalam bahasa Inggris dan Melayu," kata laporan itu, menambahkan bahwa liputan kritis telah muncul di outlet media besar lainnya.

Namun, tampaknya ada budaya sensor diri di antara jurnalis berbahasa Melayu dan China yang waspada bahwa liputan kritis dapat mengakibatkan pembalasan atau merusak hubungan bilateral.

Di Filipina, kehadiran kampanye disinformasi terkait Beijing penting tetapi belum tentu efektif, kata laporan itu.

"Data yang tersedia menunjukkan bahwa orang Filipina telah beralih dari menganggap pemerintah China sebagai pengaruh atau model positif dan bahwa mereka masih lebih memilih Amerika Serikat dan negara lain sebagai mitra," kata laporan itu.

"Orang Filipina menunjukkan skeptisisme yang meluas terhadap narasi media pemerintah China, terutama di tengah perselisihan teritorial yang memburuk antara kedua negara di Laut China Selatan," tambahnya.

"Setidaknya 36 anggota media Filipina melakukan perjalanan bersubsidi ke China pada 2019 dengan beberapa peserta menirukan poin pembicaraan negara China sekembalinya mereka," kata Freedom House.

Artikel Terkait