Penulis
Intisari-Online.com -Anggapan bahwa Kepulauan Nusantara hanya menerima para tamu asing dalam berdagang rempah tampaknya perlahan perlu direvisi.
Sebab dari ragam bukti, para pelaut dari Kepulauan Nusantara ternyata telah menjelajah samudra lebih dulu ketimbang para pelaut dari bangsa Eropa yang tiba di Nusantara pada abad ke-16.
Demikian kesan yang tampak bila kita menyaksikan pameran bartajuk “Penunggang Gelombang: Sejarah Arung Samudra dan Warisan Budaya Rempah Nusantara” yang berlangsung di Gedung Cenderawasih, Teras Malioboro 1, Ngupasan, Yogyakarta pada 14-21 Juni 2022.
Dalam pameran yang digagas oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya DIY itu, Sri Margana, dosen jurusan sejarah UGM sekaligus kurator pameran, menulis dalam Katalog Pameran bahwa sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, para pelaut Nusantara telah menjelajah samudra.
Keahlian yang dimiliki para pelaut Kepulauan Nusantara mengarung samudra ini merupakan warisan penting dari bangsa Austronesia–moyang orang Asia Tenggara kini—yang telah bermigrasi dan menjadi penduduk tetap di kepulauan Nusantara ratusan tahun sebelum Masehi.
Para pelaut Nusantara berlayar untuk berdagang rempah. Namun, rempah hanya beberapa di antara puluhan komoditas dagang utama dari Kepulauan Nusantara yang telah diniagakan oleh para pelaut Nusantara ke berbagai belahan dunia.
Mereka telah mengenalkan komoditas rempah menuju Cina di Utara, dan Arab, India, Srilanka, dan Afrika di Barat. “Bahkan kemungkinan hingga laut Mediterania yang menghubungkan para pedagang dunia dari Afrika Barat, Asia, dan Eropa," tulis Margana dalam katalog pameran.
Saking sohor rempah, kelak membuat bangsa-bangsa di dunia berlayar mencari Kepulauan Nusantara. Seperti bangsa-bangsa dari India, Arab, dan Cina yang datang ke Nusantara sejak abad ke-7 hingga ke-15 M.
Namun pada abad ke-16, pelayaran ke barat yang dilakukan para pelaut Nusantara ini pun berangsur berakhir. Hal ini terjadi seiring kedatangan para pelaut Eropa: Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Syahdan, perdagangan rempah pun dikuasai oleh berbagai bangsa Barat ini.
Bagi Margana, arung samudra yang terjadi sebelum berbagai bangsa Barat tiba ke Kepulauan Nusantara ini bisa dianggap sebagai Gelombang Pertama. "Ini adalah The First Wave dari perdagangan rempah dunia, yang mana pemeran utamanya adalah pelaut-pelaut Nusantara sendiri," tulis Margana.
Agar argumen kokoh, Margana telah mencari dan menyelisik beragam bukti dari berbagai sumber. "Petunjuk-petunjuk tentang aktivitas arung samudra para pelaut Nusantara di berbagai belahan dunia ini dapat ditemukan pada catatan dan literatur-literatur klasik yang ditulis oleh para pelaut, kartografer, dan sejarawan asing," tulis Margana.
Sulaiman al-Tajir al-Sirafi–atau Sulaiman Sang Saudagar—dalam Rihlah As-Shirafiy (Perjalanan as-Sirafi) adalah salah satu keterangan yang Margana kutip. Sulaiman yang melakukan dan mencatat perjalanannya ke India, Cina, dan pulau-pulau di Zabaj para 851 M. Dari berbagai ciri yang diungkap oleh Sulaiman, Zabaj merujuk pada Nusantara.
Nusantara sejatinya tidak hanya merujuk pada Indonesia modern. Akan tetapi, wilayah yang meliputi Vietnam, Thailand, Filipina, Myanmar, Semenanjung Melayu, dan Kepulauan Indonesia.
Dalam karya Ibn Khordadbeh, birokrat Persia berpangkat tinggi di Kekhalifahan Abbasiyah dan penulis buku geografi administrasi Arab paling awal, sekitar 870 M, Kitāb al Masālik w’al Mamālik (Kitab Jalan dan Kerajaan).
Dalam karya ini, Ibn Khordadbeh menggambarkan berbagai bangsa dan provinsi Kekhalifahan Abbasiyah. Selain peta, buku ini juga mencakup deskripsi tanah, masyarakat, dan budaya pesisir Asia Selatan hingga Brahmaputra, Kepulauan Andaman, Semenanjung Malaysia, dan Jawa.
Menurut Margana, Khordadbeh menyebut Waqwaq atau Kerajaan Medang, merujuk ke Jawa, sebanyak dua kali. Kesaksian Khordadbeh ini juga didukung beberapa pengelana lain. Misalnya, pengelana asal Portugal, Tomé Pires (1468–1540), dalam Suma Oriental (1512).
Seorang sejarawan dan filsuf asal Portugis, Diogo do Couto (1542-1616), juga menggambarkan bahwa orang Jawa memiliki keunggulan dalam pelayaran dan pembuatan kapal-kapal besar. Dalam karya Couto Decada Quarta da Asia, ia menulis bahwa bangsa Jawa amat pandai bernavigasi, meskipun beberapa pihak tidak sependapat.
Lanjut Couto, “Tetapi dapat dipastikan bahwa mereka sebelumnya berlayar ke Tanjung Harapan dan berkomunikasi dengan pantai timur pulau São Lourenço (San Laurenzo – Madagaskar), di mana terdapat banyak penduduk asli berkulit coklat dan Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari mereka.”
Panel pada dinding-dinding Candi Borobudur dari abad ke-8 juga menunjukkan kepada kita tentang panel relief perahu bercadik. “Keunggulan orang-orang Jawa membangun kapal-kapal besar terus berkembang hingga masa Majapahit (1293-1520) dan Demak (1478-1568),” tulis Margana.
Selain itu, menurut informasi dari Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M), Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan masa Airlangga (1000-1049 M) di Jawa juga mengalami masa-masa kemakmuran panjang, sehingga butuh banyak tenaga kerja, terutama untuk membawa hasil bumi dan mengirim ke pelabuhan.
Dari ragam sumber ini, Margana juga mendapat informasi tentang reputasi pelaut Nusantara dalam arung samudra, perkembangan ilmu navigasi, dan tipe-tipe kapal yang mereka gunakan. Beberapa atribut juga diberikan kepada para pelaut Nusantara, seperti “Penunggang Gelombang” dan juga “Setan Laut”.
Pameran Kecil, tetapi Cantik
Dosen Program Studi Tatakelola Seni ISI Yogyakarta sekaligus direktur artistik pameran Penunggang Gelombang, Mikke Susanto dalam kesempatan lain mengatakan bahwa dirinya bersama tim mendapat tantangan berbeda.
Bila soal urusan materi pamer kendali sepenuhnya ada pada Margana, Mikke justru menghadapi bagaimana mempersiapkan pameran dalam waktu singkat tapi menarik. "Kami hanya punya waktu tiga pekan," kata Mikke.
Padahal, tidak mungkin menjabarkan kisah yang begitu panjang dalam ruang yang begitu kecil. Selain itu, gedung tempat pameran adalah bekas gedung telantar. Jadi, tugas tim artistik adalah mengubah bagaimana ruangan yang sederhana itu menjadi sedap dipandang. Memasang trek lampu, mendesain ruang dan fasad adalah tugas utama Mikke dan tim.
Soal warna yang didominasi merah, hal itu juga bukan tak ada artinya. “Dinding dicat merah, karena dinding merah simbolik warna merah adalah pertarungan, karena rempah saling dipertarungkan dan dipertaruhkan berbagai pihak,” terang Mikke. Selain menampilkan ragam arsip, pameran yang dibuka tepat pada peringatan ke-109 Hari Purbakala ini juga menggandeng seniman Titarubi. Ia membuat dua karya instalasi berupa kapal perang Madura yang mengangkut berbagai komoditas rempah.
Karya Kapal Perang Madura Titarubi itu didasarkan dari keterangan dalam Jurnal Jacob Cornelisz van Neck (1601), yang disebut “kapal perang Madura”. Kapal itu digambarkan bersenjatakan meriam serta penuh tombak dan tameng. Kapal perang Madura dan Ternate (Kora-kora) dideskripsikan Laksamana Jacob Cornelisz van Neck dan Wakil Laksamana Wijbrandt van Warwijck dalam perjalanan dengan empat kapal Belanda yang berlayar ke Maluku dari Banten pada 1598 dalam Ekspedisi Belanda Kedua (1598–1600).
Selain itu replika kapal perang Madura, Titarubi juga membuat replika kapal yang terukir dalam relief Candi Borobudur.
Pameran ini bukan hanya mengulas sejarah pelayaran Nusantara, tetapi juga menyajikan tentang kosmologi Maritim Mataram serta kronik upaya politik Mataram dalam menguasai perdagangan laut. Tak ketinggalan, ragam olahan jamu juga menjadi salah satu hal yang dipamerkan. Sebab, jamu adalah salah satu olahan berdasar rempah yang masih eksis hingga kini.
Menurut Mikke, dalam sudut pandang pameran, Penunggang Gelombang telah menampilkan ragam materi. "Tidak terbatas pada display arsip-arsip seperti pada pameran sejarah kebanyakan. (Ada) video, mural, artefak, patung, variasinya agak banyak, nuansanya lebih pameran seni rupa," tandas Mikke.
Maka itu, di Yogyakarta pameran macam ini mesti kerap dilakukan. Sebab, bagi dia, banyak ruang-ruang warisan kebudayaan di Yogyakarta bisa dimanfaatkan. "Dan itu mesti diimplementasikan dengan cantik. Jadi (agar pameran) bukan hanya seni rupa, tapi juga ilmu lain," kata Mikke.