Find Us On Social Media :

Luput Dari Perhatian Dunia, Perancis dan Uni Eropa 'Ledakkan' Afrika dan Malah Justru Menyalahkan Rusia, Kini Putus Asa Mencari Dukungan Militer: 'Kalian Masih Bermental Kolonial'

By May N, Selasa, 7 Juni 2022 | 08:21 WIB

Pasukan Perancis di Afrika

Intisari - Online.com - Pengaruh Prancis di Afrika telah lama diterima begitu saja sehingga media Prancis memiliki nama untuk hubungan tersebut: “Françafrique."

Implikasinya adalah bahwa Paris masih memiliki ikatan sejarah dan bahasa dengan bekas koloninya yang kaya sumber daya di benua itu, yang secara otomatis diterjemahkan menjadi hak istimewa militer, ekonomi, dan politik.

Tetapi dunia baru sedang muncul di mana lingkup pengaruh Afrika Prancis tidak lagi diberikan.

Selama kunjungan Menteri Luar Negeri Mali Abdoulaye Diop ke Moskow awal bulan ini, timpalannya dari Rusia Sergei Lavrov mengatakan bahwa “ketidakpuasan Prancis dengan niat kepemimpinan Mali untuk mencari bantuan dari pasukan keamanan eksternal tidak lain adalah terulangnya mentalitas kolonial.”

Pasukan Prancis telah berada di Mali sejak peluncuran Operasi Serval di bawah mantan Presiden François Hollande pada tahun 2013 untuk mendukung pemerintah Mali melawan para jihadis, dan kehadiran mereka kemudian diperluas ke wilayah Sahel, sabuk luas yang membentang di seluruh benua Afrika di selatan gurun Sahara.

Menjelang akhir tahun itu, mantan presiden Chad, Idriss Deby, memohon perluasan misi Mali yang dipimpin Prancis di mana tentara negaranya bertugas, karena takut daerah itu berubah menjadi “tempat perlindungan teroris.”

Tak lama kemudian, serangkaian serangan teroris Islam di tanah Prancis kemudian membuat operasi yang tampaknya tak berujung di kawasan itu mudah dijual ke publik Prancis sebagai misi kontraterorisme dan intelijen.

Sembilan tahun kemudian, Presiden Emmanuel Macron telah memanfaatkan teater tempur Afrika sebagai sebuah karya untuk mimpinya menciptakan entitas "pertahanan Eropa" baru dengan partisipasi mitra Eropa lainnya.

Gugus Tugas Takuba UE, yang diluncurkan pada tahun 2020, tampaknya memang dimaksudkan untuk itu.

Misi Prancis dan Uni Eropa sangat 'berhasil' dalam membatasi ekstremisme Islam sehingga para jihadis membuat terobosan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Mali, meyakinkan penduduk setempat untuk meninggalkan kesetiaan kepada negara demi kekuasaan mereka di bawah hukum Islam.

Semacam 'Big Bang' jihadis yang dipicu oleh tekanan militer Barat juga mendorong beberapa kelompok jihadis keluar dari wilayah yang dikuasai Barat dan masuk ke wilayah lain, kata mantan Duta Besar Prancis Nicolas Normand kepada France Culture.

Orang-orang Barat begitu 'mahir' dalam menstabilkan negara sehingga kudeta lain di Mali membawa pemerintah yang dipimpin tentara berkuasa pada tahun 2021.