Tips Hidup dari 'The Intouchables'

Lily Wibisono

Penulis

Tips Hidup dari 'The Intouchables'

Driss sedang menemani bosnya. Driss dan Philippe, bos-nya itu, memang pasangan unik. Yang satu memiliki fisik prima tapi secara sosial nyaris bangkrut: bokek, pengangguran, dan punya catatan kriminal, diusir dari rumah oleh ibunya. Untung saja, karena tinggal di Prancis, ia mendapat sokongan dari pemerintah. Turun selevel lagi ia akan termasuk sampah masyarakat. Yang lain, dapat membeli dunia dengan kekayaannya, status sosialnya top, karena ia bangsawan tetapi fisik nyaris bangkrut akibat derita quadriplegia, lumpuh dari leher ke bawah.

Dua manusia amat berbeda, yang menemukan titik temu ketika masing-masing berhasil memandang lainnya sebagai manusia. Philippe tetap membuka peluang bagi Driss untuk masa percobaan bekerja dengannya sebagai perawat pribadinya. Driss memperlakukan bosnya sebagai manusia normal, bukan pasien malang yang patut dikasihani.

Driss menolak membawa bosnya dalam mobil MPV dan menempatkannya di belakang, di kursi roda. “Seperti mengangkut kuda saja,” katanya. Ia memilih membawa Philippe dalam mobil Maseratti dan ia dudukkan bosnya di samping tempat duduk sopir, seperti manusia normal. Bukan pasien yang lumpuh total. Ia mengobrol dan bercanda soal segala macam, termasuk soal seks. Hal yang membuat Philippe mampu menertawakan kondisinya. Sebaliknya, Philippe menarik keluar sisi-sisi lembut Driss, kepekaannya akan seni dan pada keteraturan dalam hidup, dan tanggung jawab.

Driss dan Philippe adalah tokoh dalam sebuah film besutan dua orang sutradara Prancis Olivier Nakache dan ?ric Toledano. Sejak dirilis November 2011, film berjudul “The Intouchables” itu telah menangguk sukses internasional. Bahkan sampai Maret 2012 menjadi film berbahasa non-Inggris yang paling banyak ditonton saat ini di dunia. Di Eropa mengalahkan film-film blockbuster macam "Harry Potter".

Aktornya, Omar Sy pemeran Driss, Februari lalu memperoleh penghargaan Cêsar untuk kategori Best Actors, penghargaan paling bergengsi untuk aktor di Prancis. Kepada Lorenza Muñoz dari situs The Daily Beast, ia berbagi keheranan, bagaimana ia beberapa bulan sebelum wawancara itu dimintai rokok dan mengobrol layaknya kawan lama dengan seorang wanita polisi di depan sebuah bistro di Champs de Élysées, Paris. Maklum saja, sebagai anak imigran dari Afrika yang dibesarkan di daerah miskin, ia tidak biasa melihat polisi berakrab-akrab dengan pria kulit hitam imigran seperti dia. Itulah pengaruh suksesnya film “The Intouchables” dalam kehidupan pribadinya.

Di media online dan cetak, film itu menuai banyak komentar dan kritik. Bahkan ada yang menawarkan unduhan lengkapnya. Di AS, film yang baru dirilis 25 Mei itu menuai pro dan kontra. Tapi biarlah kita keluar dari masalah ras hitam-putih yang selalu menjadi bahan perdebatan rumit di sana.

Kita, sebagai “orang luar”, meski tidak lepas dari pesoalan SARA kita sendiri di sini, bisa memandang dan menikmati film itu dengan lebih rileks. Namun lebih-lebih lagi, karena kedua sutradara memperoleh ide ceritanya dari kisah nyata yang mereka peroleh pada tahun 2004 sebagai film dokumenter. Philippe, bangsawan yang jutek dan tak ada semangat hidup, dibangkitkan lagi minat dan harga dirinya sebagai manusia. Driss, karena kesempatan kerja yang bagai kebetulan itu, berhasil keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan kemelataan sosial. Dalam kehidupan nyata, keduanya berhasil memasuki kehidupan baru. Tokoh Philippe dalam realitas menikah lagi, dan tokoh Driss juga membangun keluarga dengan tiga anak.

Di layar perak film itu membuat penontonnya tertawa karena benturan-benturan budaya yang dipotret secara lucu, terharu karena sentuhan-sentuhan kemanusiaannya. Akan tetapi kisah nyata yang diangkatnya mau tak mau membikin kita terhenyak: ah, ternyata masih bisa manusia dengan latar belakang sosial, budaya, etnik macam demikian besar, melepaskan segala kecurigaan rasial dan penilaian stereotipikal. Alangkah jauh lebih sederhananya urusan antarmanusia, ketika semua prasangka itu dapat ditanggalkan.

Mudah-mudahan film itu akan segera dapat dinikmati publik Indonesia dan kita pun akan memperoleh tips segar bagaimana memandang manusia sebagai manusia (saja) bisa menghidupkan diri kita sendiri dan orang lain.

If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to a man in his own language, that goes to his heart. ~Nelson Mandela