Find Us On Social Media :

Tugas Kesetiaan Uskup Belo (3)

By Agus Surono, Senin, 12 November 2012 | 15:00 WIB

Tugas Kesetiaan Uskup Belo (3)

Kondisi trauma psikologis seperti itulah yang dihadapi Belo ketika ia kembali ke Timtim akhir Juli 1981. "Kini rakyat mengalami penindasan tanpa ujung, hak-hak mereka tidak diakui. Rakyat tidak memiliki suara dan hidup dalam ketakutan," begitu pengakuan sebuah lembaga keagamaan dalam dokumen refleksi menyambut kedatangan Belo.

Trauma akibat invasi memang dalam. Seperti yang dituturkan Monsignor Martinho da Costa, apostolic administratorTimtim (karena masih berstatus belum pasti, Timtim langsung di bawah kendali Vatikan). "Gereja Katolik, menempuh semua risiko, melaporkan kepada dunia peristiwa yang terjadi selama pengepungan empat hari di dekat Rock of St. Anthony di Lacluta dengan jumlah korban lebih dari 500 orang Timtim terbunuh." Martinho juga menulis surat perihal yang sama kepada temannya di Australia.

Surat itu membuat Martinho diganti. Awal tahun 1983, Paus Yohanes Paulus II memilih Carlos Filipe Ximenes Belo, yang masih muda (baru dua tahun ditahbiskan) dan belum memiliki pengalaman mengatur jemaah gereja, sebagai penggantinya. "Semoga aku bisa mempertanggungjawabkan apa yang kuputuskan hari ini di hadapan Tuhan," kata Paus waktu memilih Belo.

Gebrakan pertama Belo adalah memakai bahasa Tetum untuk perayaan misa (sebelumnya pakai bahasa Indonesia). Ia juga sering berkomentar dan mengeluarkan pernyataan yang membuat merah kuping penguasa Jakarta. Juga tentang dilarang masuknya ICRC. Belo sendiri dilarang memberikan ekaristi bagi napol. Surat itu berimbas ke Amerika. Ketika George Shultz (waktu itu Menlu AS) berkunjung ke Jakarta, ia bilang kepada Menlu (waktu itu) Mochtar Kusumaatmadja bahwa surat Belo berpengaruh terhadap kongres dan Paus. Indonesia pun menyalahkan Belo.

Ketika diwawancarai Michael Richardson dari The Age (harian Melbourne, Australia) yang dipublikasikan 16 Juli 1984, Belo berkata tegas, "Saya siap dipindah jika itu harga dari memperjuangkan HAM dan hak-hak rakyat Timor Timur. Kebenaran harus diungkap." (Di kemudian hari, ketika ada isu ia akan dipindah oleh Vatikan, Belo kembali berkata, "Segala kemungkinan bisa terjadi. Itulah kalau politik dan diplomasi masuk ke urusan soal agama. Dan uskup bisa dipindah atas saran penguasa. Jika mereka mengirim saya ke Afrika, saya akan pergi ke Afrika. Jika mereka menyuruh saya ke neraka, saya akan segera ke neraka. Tugas saya adalah kesetiaan.")

Dalam wawancara itu, yang juga dimuat di Washington Post, wali gereja Timtim ini menyatakan bahwa situasi Timtim sangat kritis, dengan operasi tentara Indonesia yang meneror rakyat dalam upaya melawan Fretilin dan orang yang disangka simpatisan Fretilin. "Rakyat Timtim menderita karena militer Indonesia di satu sisi, dan karena Fretilin di sisi lain." Belo menambahkan, "Tapi saya tidak berpikir Fretilin adalah komunis. Aspirasi nyata mereka adalah untuk penentuan nasib sendiri. Tapi semua orang yang ingin menentukan nasib sendiri di Timor Timur dicap komunis oleh penguasa Indonesia."