Penulis
Intisari-online.com - Menurut laporan Reuters, perusahaan energi negara Indonesia PT Pertamina sedang mempertimbangkan untuk membeli minyak mentah dari Rusia.
Karena sedang mencari minyak untuk kilang yang baru direnovasi, kata CEO Nicke Widyawati.
Berbicara pada dengar pendapat parlemen, katanya di tengah ketegangan geopolitik saat ini, Pertamina melihat "kesempatan untuk membeli dari Rusia dengan harga yang baik."
Dia mengacu pada invasi Rusia ke Ukraina.
"Secara politik tidak ada masalah selama perusahaan yang kita tangani tidak terkena sanksi. Kita juga sudah membicarakan pengaturan pembayaran, yang mungkin melalui India," katanya kepada anggota parlemen.
Indonesia memegang kursi kepresidenan G20 tahun ini dan mengatakan akan tetap netral di tengah konflik Rusia-Ukraina.
Pemerintah Indonesia telah menyuarakan keprihatinan tentang invasi tetapi berhenti mengutuknya.
Rusia mengatakan itu adalah "operasi militer khusus".
Nicke mengatakan Pertamina saat ini sedang berkonsultasi dengan Kementerian Luar Negeri dan bank sentral Indonesia mengenai rencana tersebut.
Dan telah mendekati beberapa penjual Rusia untuk membeli minyak mentah untuk pengujian di kilang Pertamina.
Pertamina diharapkan menyelesaikan pembenahan kilang Balongan pada Mei, kata Nicke, yang akan memungkinkan fasilitas untuk memproses semua jenis minyak mentah.
"Hingga saat ini baru bisa mengolah minyak mentah dengan kandungan sulfur rendah, dan ini mahal," ujarnya.
Upgrade kilang Balongan akan menambah kapasitas 25.000 barel per hari (bph) tahun ini dari kapasitas saat ini sekitar 125.000 bph.
Menurut Nikkei Asia Review, rencana Indonesia untuk membeli minyak dari Rusia di tengah perang di Ukraina telah memicu perdebatan di mana negara harus turun pada isu-isu global.
Negara Asia Tenggara itu, sangat membutuhkan minyak murah untuk menjinakkan inflasi, terlepas dari mana asalnya.
Meski mengundang kritik dan tuduhan keras bahwa membeli dari Rusia hanya akanmemberi nafas perang Vladimir Putin.
Jakarta di bawah Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah lama memprioritaskan masalah domestik daripada masalah global.
Ia menempatkan fokus besar pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan industri pengolahan mineral negara.
Tetapi sebagai ketua G-20 tahun ini dan pemimpin ekonomi baru, Jokowi sekarang mungkin merasakan tekanan tambahan terkait kebijakan tertutup pemerintahnya.
Meski demikian, para pemimpin Indonesia telah lama merasa, perlu menjinakkan inflasi, mengetahui kemungkinan jika tidak melakukannya.
Mereka ingat tahun 1998, ketika selama krisis mata uang Asia, Presiden Suharto memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar.
Kenaikan yang menyakitkan itu memicu protes anti-pemerintah di seluruh negeri, dengan kerusuhan berhasil menjatuhkan Suharto setelah diktator itu memerintah dengan tangan besi selama lebih dari 30 tahun.
Maka, tidak heran jika pemerintah Joko Widodo bersikeras untuk menjaga harga energi tetap rendah meskipun anggaran subsidi energi diperkirakan membengkak secara signifikan tahun ini.
Saat ini, lonjakan harga minyak yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina telah memaksa ekonomi terbesar di Asia Tenggara untuk menanggung beberapa biaya yang lebih tinggi kepada pengemudi dan pengguna energi lainnya.
Langkah ini diperkirakan akan lebih meningkatkan tingkat inflasi Indonesia dari 2,64% di bulan Maret, tertinggi dalam dua tahun.
Pekan lalu, ribuan mahasiswa bergabung dalam aksi unjuk rasa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, memprotes kenaikan harga bensin dan lainnya.
Joko Widodo sebelumnya menyebut beberapa menteri kabinet karena gagal menjelaskan secara kepada publik alasan kenaikan harga.
Jika harga minyak yang tinggi terus berlanjut, mereka dapat memotong persentase penuh dari tingkat pertumbuhan Indonesia dan negara berkembang besar lainnya yang mengimpor banyak minyak, tulis Indermit Gill, wakil presiden Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan dan Institusi yang Berkeadilan, dalam posting blog di bulan Maret.
Sebelum perang pecah, Gill mencatat, China dan Indonesia (diperkirakan tumbuh) sebesar 5%, jadi perlambatan pertumbuhan sebesar 1 poin persentase berarti pertumbuhan akan terpangkas antara seperlima dan setengahnya.
Situasi tersebut mencerminkan bagaimana harga minyak yang tinggi dapat berdampak pada ekonomi dan politik importir minyak bersih yang membanggakan diri atas kebijakan luar negerinya yang independen dan aktif.