Find Us On Social Media :

Dialog Intisari: Jejak Etnis Tionghoa dalam Dunia Perfilman Nasional

By Agus Surono, Senin, 4 April 2022 | 08:33 WIB

The Teng Chun dalam pembuatan film Noesa Penida

Intisari-Online.com - "Tahun 1930-an sudah mulai masuk era film bicara. Sebelumnya film masih bisu. Hindia Belanda tentu pingin merasakan teknologi itu. Namun mendatangkan peralatan yang bisa membuat film bicara itu mahal. Nah, The Teng Chun (salah satu produser film saat itu – Red.) berinisiatif membuat teknologi film bicara bekerja sama dengan teknisi dari ITB,” kata Umi Lestari, dosen Jurusan Film & Animasi, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong,

Meski inovasi itu hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan, apa yang dilakukan The Teng Chun merupakan sedikit sumbangsih etnis Tionghoa (peranakan) dalam dunia perfilman Indonesia saat itu. Meski banyak yang berperan sebagai produser, namun beberapa dari mereka merangkap pula sebagai sutradara. Baik sebagai produser maupun sutradara, etnis Tionghoa turut mewarnai perjalanan dunia film Indonesia.

Beberapa sutradara bumiputra lahir dari tangan-tangan mereka. Umi menyebut beberapa nama seperti Nawi Ismail yang pernah menyutradarai film-film Warkop, Sofia WD (film pertamanya Badai Selatan produksi Ibukota Film pada 1960), Bachtiar Effendy (Nyai Dasima, 1931), serta Andjar Asmara (film pertama yang disutradarainya Kartinah).

Di samping The Teng Chun tadi, kiprah etnis Tionghoa dalam perfilman di Indonesia pada masa kolonial dan masa revolusi diwakili oleh Wong Bersaudara (Nelson Wong, paling tua, kemudian Joshua Wong, dan Othniel Wong) serta Tan Khoen Hian yang mendirikan Tan’s Film.

“Eksperimentatif,” begitu Umi menyimpulkan peran etnis Tionghoa tadi dalam satu kata.

 Baca Juga: Modalnya Miliaran Rupiah, 4 Film Indonesia Ini Justru Tak Laku, Rugi Besar!

 Baca Juga: Hari Film Nasional: Sejarah Sinematek Indonesia dan Pengorbanan Nani Wijaya

Loetoeng Kasaroeng sang pemula

Dalam "Dialog Intisari" yang ditayangkan lewat channel Youtube Intisari Online, Umi menyatakan bahwa pada masa Hindia Belanda, masyrakat saat itu cukup kosmopolit. “Kita tidak pernah ketinggalan tayangan (film-film) dari Hollywood. Begitu juga dengan peralatan yang ada tidak ketinggalan zaman. Hanya saja, pada masa 1920-an tu, seperti yang ditulis Misbach Yusa Biran dalam bukunya Sejarah Flm 1900 – 1950, terjadi monopoli dalam hal tontonan film. Yakni dari Hollywood,” kata Umi.

Untuk mengurangi dominasi Hollywood itu, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuat film sendiri. Sutradara Belanda kelahiran Jerman, G Kruger disuruh membuat film fiksi yang harus bisa mewakili bumiputera. Lahirlah film Loetoeng Kesaroeng, hasil kerja sama dengan Bupati Bandung saat itu, RAA Wiranatakusumah V. Film ini dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, khususnya dari tanah Sunda.

Sejak itu Pemerintah Kolonial mendorong untuk pembuatan film-film lokal. Masuklah para pembuat film dari etnis Tionghoa. Ini didukung oleh dua hal, pertama mereka memang tertarik dengan pasar perfilman di Hindia Belanda. Kedua, mengisi kekosongan yang tidak bisa dibuat oleh orang kulit putih “Dan mereka mau berspekulasi,” tambah Umi.