Pengetahuannya tentang kesenian dan kebudayaan, khususnya Jawa, ia dapatkan dari pihak keluarga ibunya yang merupakan kalangan bangsawan di Tuban.
Dari proses belajar tersebut, Sunan Bonang memahami dan mengetahui seluk beluk kesenian Jawa, terutama dalam bidang kesusastraan.
Oleh sebab itu, ia dikenal piawai dalam menggubah macapat, yakni puisi dan tembang tradisional Jawa.
Kendati demikian, sebelum memanfaatkan jalur kesenian, dakwah Sunan Bonang diketahui menggunakan pendekatan-pendekatan yang cenderung mengandung kekerasan.
Dalam Babad Daha-Kediri, dikisahkan bagaimana Sunan Bonang menghancurkan arca-arca yang dipuja masyarakat Kediri.
Dalam Babad Daha-Kediri juga diterangkan pula bahwa Sunan Bonang pernah mengubah aliran sungai Brantas agar daerah-daerah tertentu yang dilintasi sungai tersebut kekurangan air.
Daerah-daerah tertentu dalam konteks ini adalah daerah yang tidak menerima dakwah dan syiar Islam yang dibawanya.
Akibatnya, masyarakat yang menolak kehadiran Islam dan Sunan Bonang harus menderita kekeringan.
Konsekuensi dari pendekatan dakwah yang cukup represif tersebut, seperti termaktub dalam Babad Daha-Kediri, mengakibatkan Sunan Bonang menghadapi resistansi dari masyarakat Kediri berupa konflik.
Adapun dua tokoh utama yang kala itu sangat menentang Sunan Bonang adalah Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang notabene penganut ajaran Bhairawa-bhairawi.