Find Us On Social Media :

13 Tahun Kematian Munir: Kisah Manusia Biasa Bernama Munir

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 7 September 2016 | 12:30 WIB

Manusia Biasa Itu Bernama Munir

Intisari-Online.com - Masih ingat Munir? Aktivis hak asasi manusia? Pendiri KontraS?

Menyebut namanya niscaya akan membawa benak kita melayang ke kabin pesawat, tempat ia mati diracun dalam sebuah penerbangan menuju Belanda.

Membuat kita teringat pula akan rangkaian teror yang tak pernah mampu menghentikan keberaniannya.

Melempar kita ke headlines koran-koran di masa lalu.

Sebagian dari kita tentu masih ingat betapa sering sepak terjangnya, yang membuat jantung berdegup kencang itu, masuk halaman utama surat kabar.

KontraS, lembaga yang dipim-pinnya saat itu punya lawan yang sungguh tak main-main: Presiden Soeharto. Sebuah bom yang diletakkan di bawah jendela kamar ibunya sekali pun tak mampu mem-bungkam pria bertubuh ringkih ini.

Dengan reputasi seperti itu, tak heran banyak orang menganggapnya sebagai manusia langka, pemberaninya engga keru-keruan, nekat bin ngawur. Benarkah?

Saya beruntung sempat mewawancarainya untuk keperluan membuat makalah kuliah.

Dalam perbincangan di kantor KontraS, ia menekankan bahwa persepsi masyarakat tentang keberaniannya perlu dikoreksi.

“Aku itu penakut,” kata dia berterus terang. Kalimat-kalimatnya terpotong oleh panggilan telepon sebanyak dua kali.

Isi salah satu di antaranya ia ceritakan seusai telepon ditutup, ”Di Surabaya ada orang ngumpulin dana dari masyarakat atas namaku dan Nabi Muhammad buat bikin Partai Buruh,” begitu tutur dia.

Munir berbicara dengan gaya cuek, iramanya datar dan bahkan saat menggunakan pilihan kata yang cukup keras, ia tetap saja berbicara dengan intonasi rata.

Sah-sah saja untuk tidak setuju dengan pengakuannya bahwa ia adalah seorang penakut.

Namun Munir bersikeras bahwa ia bukanlah seorang pemberani.

”Takut ya takut. Namun takut harus dirasionalisasi,” ujarnya.

“Aku itu penakut, istriku yang pemberani tuh,” tutur dia menyebut-nyebut nama Suciwati yang memberinya dua orang anak, Alif dan Diva.

Kiranya akan sangat menarik jika kita melihat bagaimana dua orang pemberani bersama-sama mengelola rasa.

Hellen Keller melukiskan cinta dengan kalimat yang amat menyentuh, ”The most beautiful thing in the world that can neither be seen nor touched”.

Cinta adalah hal terindah sejagad yang tak bisa dilihat ataupun disentuh.

Mungkin karena itulah saat membicarakan cinta, Munir yang terkesan garang dan berhasil mem-buat panik rezim Orde Baru itu, bisa tiba-tiba menjadi puitis.

Simak saja pendapatnya tentang cinta dan pernikahan yang ia ungkapkan kepada seorang temannya melalui fasilitas chatting.

Kawin itu bukan cita-cita, tapi sesuatu yang datang sendiri dan nggak bisa dihindari. Dia bagian tertua dari peradaban, ia bagian dari seni, dan biarlah dia datang menurut alurnya…. Kawin datang ketika cinta dan kontraktual untuk bersama di-temukan. Jadi ia akan datang sendiri dan kita temukan di mana dunia peradaban yang terencana itu dijalankan.

Kata-kata Gandhi tentang cinta : “Kalau orang masih berhasil menulis lewat huruf hiroglif, maka cinta akan menulis dalam pilihan ruang kebenaran yang tidak terjamah”. Nah, jadi cinta dan perkawinan itu bukan soal fisik (jamah) tapi kebenaran dalam kejujuran menemukan kesesuaian.

OK, jangan berdoa untuk dapat jodoh, tapi berdoalah untuk kebenaran. Karena di situ cinta akan ditemukan… Saya pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang hidup dalam latar belakang yang sama sekali berbeda. Kini dia jadi istri tercinta, dan dia adalah kekuatan bagi kehidupan saya yang jauh lebih kuat dibanding jatuh bangun saya untuk belajar ilmu pengetahuan atau lainnya.

Cinta itu hebat, bahkan lebih hebat dari dunia perkawinan itu sendiri.Doa adalah bagian penuturan cinta pada sebuah cita-cita yang belum kita capai. Dia bukan urusan Tuhan, tapi urusan manusia. Dan Tuhan ada pada berapa besar rasa cinta kita akan kebenaran itu. Nah, berdoalah dengan cinta, tapi jangan berdoa untuk cinta…”.

Penjelasan “serius” di atas unik-nya berbanding terbalik dengan kesantaian Munir menjalani hidup sehari-hari.

Dalam sebuah wawancara, sambil menyantap sepiring mi goreng, Suciwati berbagi cerita.

Banyak hal yang mengesan-kan pada dia karena saya tidak melihat dia lepas-lepas. Dia adalah seorang ayah bagi anak-anakku, ia sangat akrab karena di saat-saat tertentu dia meman-dikan anak saya, menyuapi anak saya. Itu bukan hal yang mudah bagi seorang laki-laki yang hidup di keluarga patriarki jadi bagi saya dia luar biasa.

Tentu bagi saya itu hal yang khusus. Bagaimana saya mengenal dia, dia bisa enjoy banget dengan perdebatan-perdebatan di rumah tangga kami yang dinamis sekali. Di saat-saat khusus kami selalu ada. Bangun pagi, kami enggak langsung bangun tapi bercengkrama di kamar tidur. Anak-anak ber-kumpul di dalam kamar trus kita bercanda, baru satu jam atau setengah jam kemudian kita melakukan aktivitas.

Bahkan dia pasti meluangkan waktu untuk mengantar anak saya sekolah. Itu hal yang bagi saya luar biasa. Dia senang di kamar tidur, yang paling dia sukai itu memeluk dari bela-kang. Memeluk anaknya, memeluk istrinya dari belakang. Mengejutkan. Munir juga orang yang konyol. Kalo enggak ada dia, sepi. Enggak ada lo enggak rame (kalimat ini adalah slogan dari sebuah iklan rokok-pen).

Kalo dia libur itu, hobinya nonton film, masang musik ke-ras-keras dan kalo musiknya ritmenya cepat, dia akan ajak orang-orang joget. Anak-anak-nya ya diajak joget, istrinya juga.

Suciwati juga mengungkapkan sisi romantis Munir.

Ia menuturkan bahwa tiap pagi selalu pria kelahiran Malang ini memberinya kecupan dan mengatakan, “Aku cinta padamu”.

Saat merayakan ulang tahun pernikahan, Munir juga mengajaknya jalan berdua seperti orang pacaran.

Berantem profesional

“Cinta adalah apa yang tersisa setelah api jatuh cinta padam,” begitu kata pepatah. Cinta dan romance adalah dua hal yang kerap berbeda dan Munir serta Suciwati mengerti bahwa cinta bukanlah rasa meletup-letup ala film Hollywood.

Cinta bagi mereka bukan hanya kegiatan fisik dua manusia. Cinta punya implikasi luas: membangun masyarakat. Memperkuat bangsa. Berbakti pada Tuhan melalui pengabdian untuk sesama.

Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau biasa dipanggil.

Beliau terkesan intelek walau tak pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun.

Perempuan tangguh ini berhasil mendidik - bukan hanya “membesarkan” - tujuh anak, seorang diri.

Waktu Munir berusia 11 tahun, sebuah dokar yang ditarik sapi menabrak mobil yang ditumpangi ayahnya.

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Abah, begitu beliau biasa dipanggil, akhirnya menghembuskan napas terakhir.

Umi lantas -membahu dengan anak-anaknya menjaga toko sepatu milik keluarga. Munir kecil belajar melayani pembeli.

Tawar-menawar harga lantas menjadi bagian inte-gral dari kesehariannya.

Di kemudian hari Munir mengungkapkan bahwa nilai-nilai egaliter yang ia pegang teguh berawal dari kehi-dupannya di pasar.

”... Interpretasi hubungan manusia yang saya miliki ya mengacu pada pasar. Orang yang paling egaliter itu kan pedagang kecil di pasar. Cara menghargai orang, cara berhubungan, komunikasi, nilai, macem-macem itu, ya di pasar. Itu mempengaruhi saya karena sejak TK saya sudah di pasar,” tutur Munir.

Kehidupan yang sulit membentuk Munir menjadi sosok yang temperamental dan keras.

Ia me-nuturkan bahwa secara intuitif ia akan membela anak “biasa-biasa saja” yang dikeroyok oleh “anak sok kaya atau sok mentereng-mentereng” kendati ia tidak mengenal mereka.

Munir tidak nakal tapi jika diganggu ia tak keberatan untuk berkelahi. Saat kuliah ia juga pernah memukul seseorang sampai orang itu masuk rumah sakit.

“Dia itu berantemnya profesional, bukan berantem sembarangan. Berantem-nya itu spesifik, dia enggak bisa melihat sesuatu yang enggak benar bagi dia. Dia berani, apa pun risi-konya, walaupun berantemnya enggak seimbang,” begitu cerita Jamal, adik Munir dalam Bunga Dibakar, sebuah film yang didedikasikan untuk Munir.

Jika ketika kecil amarahnya ter-hadap ketidakadilan dia ungkapkan dalam rupa bogem mentah, saat dewasa rasa geramnya diluapkan dalam tindakan yang elegan yakni mendirikan institusi yang memper-juangkan hak asasi manusia.

Cintanya pada sesama membu-ahkan banyak kisah menarik. Pencuri buru-buru mengembalikan motor yang dicurinya begitu tahu bahwa pemiliknya adalah Munir.

Munir pernah mendatangi seseorang di Pamulang untuk suatu urusan.

Hanya gara-gara didatangi Munir yang top banget, orang yang semula dipandang sebelah mata oleh para tetangga karena miskin, mendadak naik derajat.

Munir pun lantas didaulat menjadi saksi pernikahan anaknya untuk mendongkrak martabat keluarga. Biar miskin tapi keren, begitu mereka berpikir.

Munir memang keren jika defi-nisi keren adalah “rela mempersem-bahkan hidup untuk kepentingan orang banyak”.

Namun jika definisi keren mengacu pada nilai-nilai di zaman modern yang sangat kon-sumtif, yaitu punya materi melim-pah, jelas sekali Munir enggak ada keren-kerennya sedikit pun.

Ia di-kenal terbiasa pakai barang murah. Walau terkadang punya rezeki berlebih, ia tetap saja tak foya-foya.

Hal itu rupanya berakar pada sebuah peristiwa yang ia alami saat duduk di kelas 4 SD.

Ketika itu, ia melihat beberapa mobil diparkir di tepi jalan. Didorong rasa kagum sekaligus iseng, ia mengusap-usap badan mobil tersebut. Ayahnya mendadak ngamuk.

“....Aku enggak tau kalo di seberang jalan ternyata ada Bapakku, ngamuknya minta ampun.. dianggap mengagumi kemewahan, kekayaan, menghina.

”Kau sudah tidak menghargai aku sebagai orangtua tapi kau lebih menghargai orang karena barangnya!!!”

Anak kecil dibegitukan, wah itu marahnya keras dan itu memperngaruhi cara berpikir. Nilai itu masuk... Enggak berani aku mengagumi, waduhh... itu mewah... waduh, enggak berani. Ngomong, megang, enggak berani. Selesai”.

Umi yang tenang tapi deg-degan

Didikan yang diterima Munir memang keras. Ibunya kerap me-mukul pantat anak-anaknya saat mereka bersalah.

Namun, rasa hormat di hati Munir bersaudara terhadap orangtua tak pernah hilang.

Umi bercerita bahwa saat anaknya yang tinggal di tengah kota akan pergi ke luar kota, mereka akan datang lebih dahulu ke rumah Umi yang terletak di pinggir kota untuk sekadar pamitan.

Dalam sebuah wawancara di Malang, Umi yang kini sudah tak ada, mengungkapkan, di balik ketenangannya tetap saja merasa deg-degan melihat kiprah Munir di KontraS.

Namun bagaimanapun, Umi dan Anisa, adik Munir, mendukung apa yang ia lakukan. “…tapi kadang megingatkan, bukan protes, karena tahu bahwa Munir tidak bisa dilarang. Tapi ya memang enggak mau melarang karena senang punya saudara peduli pada sesama. Tapi kalo bahaya ya takut juga,” ungkap Anisa.

Wajar jika keluarga takut mengingat bahwa tak seorang pun me-nyangka bahwa Munir akan berge-lut secara intens di dunia pergerakan yang mengancam nyawa.

Mereka pada awalnya berpikir bahwa apa yang dilakukan Munir hanyalah kegiatan biasa seorang mahasiswa.

Aktivitas senat berskala universitas itu tak disangka-sangka pada akhirnya menjadi embrio kegiatan advokasi Munir yang kelak memuai sampai ke lain benua.

Sejak KontraS berdiri, Umi mu-lai merasa resah sehingga berulang kali meminta Munir untuk mundur dan bekerja di Malang.

Munir hanya menjawab, “Enggak ada apa-apa, kok. Aman.”

Ditemani oleh Anisa yang membantunya mengupas detail setiap peristiwa yang dikisahkannya, Umi bertutur,” Saya enggak pernah berharap Munir jadi orang kaya, kerja, keliling-keliling dunia. Enggak pernah itu. Umi hanya ingin ia besar lalu bekerja, enggak tahu mau jadi apa, tapi enggak angan-angan itu, dia jadi aktivis. Enggak terbayang,” ungkapnya.

Keinginan Umi yang sederhana itu sayangnya tak terwujud. Men-cintai keadilan di negara tiran dan korup tak pernah menyisakan ki-sah yang sederhana.

Kekerasan kerap mengikuti perbedaan-perbe-daan yang terbentang antara Munir dengan pihak-pihak yang bersebe-rangan dengannya.

Karena Munir pantang mundur, ia pun lantas merasakan betul bahwa kekerasan adalah suatu hal yang amat menya-kitkan.

Jamal bertutur bahwa rasa sakit inilah yang membuat Munir tak pernah bercerita sedikitpun tentang teror yang ia terima.

”Dia selalu enggak cerita tentang teror karena (terasa) sakit,” tuturnya. ”Karena kalo dia cerita, dia meng-ulang memorinya untuk sakit lagi.”

Rasa sakit ini menemui wujudnya yang paripurna pada 7 September 2004. Munir dipaksa untuk menu-tup jalan hidupnya dengan cara yang amat tragis.

Arsenik yang mampu membunuh tiga nyawa sekaligus membuat Munir menahan nyeri tak terkira hingga terkena diare serta muntah-muntah sebanyak enam kali. Ia akhirnya meregang nyawa di tengah dinginnya kabin pesawat pada ketinggian 40 ribu kaki di atas dataran Hungaria.

Indonesia pun gempar. Kita terkejut. Namun hidup memang hanya sebuah kesementaraan. Dulu ba-nyak yang marah mengapa Munir berlalu demikian cepat tapi bagai-manapun kisah seorang Munir sudah selesai.

Kisah kita yang belum usai. Mungkin giliran kita yang harus jadi Munir di area kita masing-masing. Ketidakadilan hidup di semua aspek. Tak usah membela-lakkan mata dan berpikir bahwa ketidakadilan hanya ada di pang-gung politik. Hari demi hari, cer-mati saja, kita semua bisa jadi adalah korban merangkap pelaku ketidakdilan, bukankah demikian? Selama bola bumi masih berputar, selama itu juga dunia butuh orang yang mau menjadi voice of the voiceless.

Ia hanya manusia biasa. Sama seperti kita. Jika dia bisa berjuang di tengah era yang demikian represif, apalagi kita yang kini hidup di alam demokrasi seperti sekarang? Jika dia bisa begitu gilanya mencintai sesama di tengah situasi yang demikian mencekam, apalagi kita yang sekarang berkiprah di dunia yang begini bebas.