Penulis
Intisari-Online.com -Putra mendiang pemimpin Muammar Gaddafi mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dalam pemilu pada Desember mendatang.
Melansir BBC pada Senin (15/11/2021), Saif Al-Islam Gaddafi pernah menjadi pewaris ayahnya, tetapi dukungannya untuk tindakan brutal terhadap pengunjuk rasa 10 tahun lalu menodai citranya.
Sejak pemberontakan 2011 itu, Libya dilanda konflik.
Kelompok hak asasi Libya telah khawatir bahwa pemungutan suara, yang dijadwalkan pada 24 Desember, tidak akan bebas dan adil.
Kekuatan dunia dan sekretaris jenderal PBB telah memperingatkan bahwa siapa pun yang mencoba menghalangi atau memalsukan hasil pemilu presiden Libya akan menghadapi sanksi.
Muammar Gaddafi
Sejak 1969 hingga 2011, Libya berada di bawah pemerintahan seorang diktator bernama Muammar Gaddafi.
Dia memperoleh kekuasaannya melalui jalan kudeta, hingga pada akhirnya digulingkan oleh kelompok pemberontak dan dibunuh.
Melansir Kompas.com, tak lama setah berkuasa, langkah pertama yang dilakukan Gaddafi adalah menutup pangkalan militer milik AS dan Inggris di Libya.
Praktik kediktatoran yang dijalankan Gaddafi semakin terlihat saat dia memerintahkan agen intelijennya di seluruh dunia mengintimidasi dan membunuh warga Libya di pengasingan.
Gaddafi juga menunjuk keluarga dan teman-teman terdekatnya untuk menempati posisi-posisi penting di pemerintahan.
Korupsi dan penindasan yang dipraktikkan di setiap organisasi sipil menjadikan penduduk hidup dalam kemiskinan.
Sementara Gaddafi dan orang-orang dekatnya mengumpulkan kekayaan dan menyingkirkan para pembangkang.
Selain memimpin sebagai diktator, Gaddafi juga dikenal memiliki gaya yang eksentrik dengan pakaian yang unik dan kebiasaannya mendirikan tenda di setiap kunjungannya ke luar negeri.
Pemerintah Libya di bawah Gaddafi juga diketahui terlibat dengan banyak kelompok anti-Barat di seluruh dunia, menjadikan Libya musuh bagi banyak negara.
Kerajaan Inggris bahkan memilih memutuskan hubungan diplomatik dengan negara itu selama lebih dari satu dekade.
Libya juga dianggap berperan di balik sejumlah aksi terorisme.
Di antaranya pada 1986 dalam kasus pemboman klub di Berlin Barat yang menewaskan tiga orang.
Juga kasus pemboman pesawat yang membawa 259 orang di Lockerbie, Skotlandia pada 1988 dan peledakan pesawat penumpang Perancis pada 1989 yang menewaskan 170 penumpang.
Hubungan Gaddafi dengan negara Barat mulai mencair pada era 1990-an, saat muncul ancaman yang semakin besar dari kelompok Islam yang menentang kekuasaannya.
Dia mulai berbagi informasi dengan dinas intelijen Inggris dan AS.
(*)